- Versi pertama menceritakan tentang seorang tentara Tartar dari Cina yang melarikan diri pasca kekalahan dalam perang zaman Raden Wijaya. Ia membuka hutan di lereng Gunung Pegat dan mendirikan perkampungan. Suara lesung yang dibunyikan setiap pagi menghasilkan bunyi "dong-dong-dong" yang kemudian menginspirasi nama Dandong. Kebetulan, asal tentara tersebut dari daerah Dingdong, Tiongkok Selatan, sehingga nama lokalnya juga terpengaruh.
- Versi kedua menyebut adanya seorang perempuan sakti, disebut Ni Empu, yang pandai membuat alat-alat pertanian dan keris dari besi. Suara palu dan baselin saat membuat alat-alat tersebut terdengar sebagai "dong-dong-dong". Dari sinilah warga menamai daerah itu Dandong. Petilasannya diyakini berada di sekitar SDN Dandong I, dan peninggalannya berupa batu kuno dan bekas baselin ditemukan saat pembangunan sekolah.
- Versi ketiga berkaitan dengan masa Perang Diponegoro (1825--1830). Usai perang berakhir, para pejuang dan perwira yang kalah menyebar ke timur dan menyamar sebagai petani atau ulama. Salah satu tokoh penting adalah Raden Mas Co Leksono (disebut Ki Ageng Co Leksono), seorang muslim keturunan Tionghoa yang menjadi penasihat Adipati Serengat. Ia mengajarkan baca-tulis kepada warga dan dikenal sering berkata "ke-dang-dong-toh", yang turut mewarnai asal-usul nama Dandong.
Pembacaan sejarah ini menjadi momen reflektif yang mengajak warga untuk menghargai asal-usul leluhur dan menjaga nilai-nilai yang diwariskan.
Nilai Budaya dan Sosial
Wayang kulit bukan hanya sekadar pertunjukan, tapi juga media pendidikan dan pelestarian budaya. Dalam pagelaran ini, terselip banyak nilai luhur yang ditanamkan secara tidak langsung, seperti pentingnya musyawarah, kejujuran, dan menghormati orang tua. Acara ini juga memperkuat semangat gotong royong, terbukti dari peran aktif warga dalam persiapan acara: mulai dari dekorasi, konsumsi, hingga menjaga ketertiban selama pertunjukan. Momen ini menjadi ruang interaksi sosial yang sehat, memperkuat kohesi antarwarga dan aparat kelurahan.
 Antusiasme Warga dan Suasana
Suasana malam itu begitu meriah namun tetap sakral. Warga dari berbagai usia memadati halaman kelurahan. Tertata rapi, dengan lampu-lampu menghiasi panggung, suasana seperti ini menghidupkan kembali memori masa lalu ketika kesenian tradisional menjadi bagian utama dalam kehidupan masyarakat. Pagelaran berlangsung dengan tertib, ditandai dengan respon hangat dari penonton yang sesekali tertawa, kagum, atau bahkan larut dalam suasana haru dari cerita yang dimainkan.
Pagelaran wayang kulit dalam rangka Bersih Kelurahan Dandong bukan hanya menjadi hiburan rakyat, tetapi juga simbol penghormatan terhadap budaya dan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh leluhur. Melalui tangan dingin Ki Minto Darsono dan denting merdu Campursari New Sekar Gadhung, serta penyampaian sejarah Desa Dandong, warga diajak untuk tidak melupakan akar tradisinya. Acara ini mencerminkan betapa budaya lokal dapat menjadi media pengikat sosial yang kuat serta wahana edukasi nilai-nilai kehidupan. Diharapkan tradisi seperti ini terus berlanjut dan menjadi inspirasi bagi generasi muda untuk mencintai, melestarikan, dan memajukan kebudayaan daerah.