Mohon tunggu...
plaspalisnsome
plaspalisnsome Mohon Tunggu... -

Know more. Do more. Do better. Pernah belajar di Fak. Filsafat - Unika Santo Thomas Medan, Sumatera Utara (2010 - 2014).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Salib Kampung: Tanda Kehadiran Tuhan di Kampung

13 Mei 2017   21:09 Diperbarui: 20 Mei 2017   20:12 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Makna Pantak dalam Kebudayaan Dayak

      Dalam kebudayaan Dayak umumnya dikenal suatu bentuk kebudayaan yang dikenal dengan Pantak. Pantak adalah sejenis patung yang dipahat dari kayu ulin atau batu dan dibentuk seperti manusia lengkap dengan kaki dan tangan dengan ukuran paling kecil sebesar betis orang dewasa dan ukuran paling besar bisa sampai satu setengah meter tingginya dengan diameter kira-kira 20-30 cm. Pantak biasanya ditempatkan pada tempat-tempat tertentu,  misalnya di bawah pohon beringin, di awal kampung atau di ujung kampung orang Dayak. Fungsi utama pantak adalah sebagai tanda kehadiran roh-roh leluhur yang melindungi penduduk kampung dari segala malapetaka. Karena itu tidak mengherankan bila seringkali diadakan acara-acara adat untuk meletakkan sesajen bagi roh-roh leluhur di Pantak.[4] Selain sebagai tanda kehadiran roh-roh leluhur, Pantak juga berfungsi sebagai tanda batas antar kampung.

      Dalam kebudayaan Dayak Kanayatn terdapat tiga jenis Pantak, yakni Pantak Padagi, Pantak Panyugu, dan Pantak Keluarga. Pantak Padagi diperuntukkan untuk roh-roh para pemimpin perang dan pengobatan, Pantak Panyugu diperuntukkan untuk roh-roh tokoh pertanian, dan Pantak Keluarga untuk roh-roh tokoh pengayom keluarga yang bersangkutan.[5] Jenis-jenis Pantak dalam kebudayaan sub-suku Dayak lainnya di Kalimantan Barat juga sama dengan ketiga jenis Pantak dalam kebudayaan Dayak Kanayatn ini walaupun dengan nama yang berbeda.

      Fungsi Pantak sebagai tempat roh-roh leluhur telah menjadikannya sebagai tempat yang keramat. Pantak menjadi tempat yang harus selalu dihormati dan bahkan bila ada bencana penduduk kampung wajib mengadakan ritual adat di Pantak karena bencana yang terjadi dianggap sebagai amarah dari roh-roh leluhur. Upacara penghormatan seperti ini kemudian pelan-pelan mulai menghilang seiring dengan masuknya agama Katolik atau Protestan di kalangan masyarakat Dayak. Gereja Katolik sendiri tentu saja melarang ritual penghormatan roh di Pantak karena bertentangan dengan ajaran iman Gereja untuk tidak menyembah berhala. Upaya pelarangan dari pihak Gereja tersebut telah dimulai oleh para misionaris awal. Pastor Herman Josef misalnya dalam bukunya mengisahkan bagaimana ia melarang umat waktu itu untuk tidak melakukan ritual-ritual di Pantak dan meminta mereka untuk mencabut Pantak-pantak yang ada.[6]

      Kini keberadaan Pantak telah berkurang di kalangan masyarakat dayak dan kebanyakan telah diganti dengan salib kampung. Memang di sejumlah kampung masyarakat Dayak masih ada sejumlah Pantak namun upacara-upacara terkait Pantak tersebut sudah jarang dilakukan lagi. Pantak-pantak yang masih ada bahkan terncam punah karena mulai diburu oleh para pencuri benda-benda antik.

        

Sejarah Singkat Salib Kampung

      Berbicara tentang sejarah salib kampung, khususnya sejarah salib kampung di wilayah Paroki Pusat Damai, belum ada literatur-literarur ilmiah yang memberi gambaran jelas tentang hal ini. Informasi yang didapatkan hanyalah dari folklore[7] yang ada ataupun dari kisah saksi-saksi sejarah yang masih hidup. Namun demikian dari informasi lisan yang ada nampak bawa salib kampung berkembang dari satu kampung ke kampung yang lain berkat kesamaan iman dan dorongan dari para misionaris awal.

      Menurut keterangan P. Fritz Budmiger, OFMPCap., pastor Paroki Pusat Damai, pengaruh penempatan salib di kampung-kampung pertama kali dibawakan oleh P. Lazarus, OFMCap., pada saat beliau bertugas di Paroki Jangkang yang bertetangga dengan Paroki Pusat Damai pada tahun 1970-an. Pastor Lazarus sendiri membawa kebiasaan salib kampung ini dari negaranya, yakni Swiss, yang memang sudah lama mengenal kebiasaan penggunaan salib kampung. Dari wilayah paroki Jangkang kebiasaan penggunaan salib kampung ini kemudian merembet ke daerah sekitarnya, termasuk kampung-kampung di wilayah paroki Pusat Damai.

      Perkembangan pesat penggunaan salib kampung juga sangat dipengaruhi oleh bencana yang sering terjadi saat itu. Di kampung Sedoya misalnya, salah satu stasi di paroki Pusat Damai, penempatan salib kampung berawal dari bencana kematian mendadadak yang menimpa banyak penduduk saat itu. Menurut penuturan beberapa umat Sedoya yang sempat ditanyai oleh penulis, saat itu banyak penduduk kampung tiba-tiba meninggal dunia secara mendadak tanpa sebab yang jelas. Atas saran P. Ewald Beck, OFMCap., selaku pastor Paroki Pusat Damai saat itu, umat di kampung Sedoya diminta untuk medirikan sebuah salib di tengah-tengah kampung dan mereka juga diminta untuk membuat sejenis permohonan (niat) kepada Tuhan agar bencana kematian mendadak yang terjadi segera berakhir. Setelah umat melakukan saran Pastor tersebut, ajaib bahwa bencana kematian mendadak tersebut pun segera berakhir dan tidak pernah terjadi lagi. Mengalami hal ini umat Sedoya saat itu pun berniat untuk tetap memelihara salib di kampung mereka dan secara berkala mengadakan ibadat di salib kampung tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun