Mohon tunggu...
P Joko Purwanto
P Joko Purwanto Mohon Tunggu... Teacher

Becoming added value for individual and institute, deeply having awareness of personal branding, being healthy in learning and growth, internal, external perspective in order to reach my vision in life, and increasingly becoming enthusiastic (passion), empathy, creative, innovative, and highly-motivated.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Generasi Muda dan Lansia: Generasi Pengharapan - Katekese Agustus 2025

29 Juli 2025   09:45 Diperbarui: 29 Juli 2025   09:43 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebaliknya, para lansia – sebagaimana dinyatakan dalam artikel 14 – bukan beban zaman, tetapi penjaga memori kasih Tuhan. Mereka membawa sejarah panjang pengharapan yang telah diuji waktu. Mereka tahu bahwa kehidupan bukan hanya tentang mencapai, tetapi juga tentang menghidupi dan membagikan. Dengan demikian, mereka menjadi guru keheningan, kesabaran, dan doa.

Kita bisa merenungkan kisah nyata berikut: 

Livia adalah seorang siswi SMA Katolik yang cemerlang dalam prestasi, namun hatinya sunyi. Ia merasa hidupnya penuh jadwal, penuh tugas, tetapi hampa makna. Ketika sekolah mewajibkan kunjungan ke panti jompo sebagai bagian dari kegiatan sosial, Livia melakukannya dengan enggan. Baginya, itu hanya satu kewajiban lain di antara sederet daftar panjang hal yang harus diselesaikan. Ia membayangkan tempat itu sebagai ruang sunyi yang membosankan—dipenuhi orang-orang tua yang tak lagi berguna dan hanya menunggu ajal.

Namun dunia Livia mulai retak dalam keheningan yang tidak ia duga. Di suatu sudut ruangan, ia bertemu Oma Maria, seorang wanita renta dengan kursi roda, rambut putih tersisir rapi, dan mata yang masih menyala meski usia telah menggerogoti tubuhnya. Dengan suara gemetar namun penuh kehangatan, Oma Maria bercerita—bukan tentang kesepian atau penyakit, tetapi tentang keteguhan. Ia kehilangan suaminya dalam kerusuhan, membesarkan lima anak seorang diri, menjadi pemimpin lingkungan selama tiga puluh tahun, dan setiap malam berdoa rosario sambil menyebut satu per satu nama tetangganya. Di tengah penderitaan, ia justru bersyukur, “Karena Tuhan tidak pernah pergi. Dia tinggal di sini,” katanya sambil menyentuh dadanya.

Cerita itu menusuk Livia lebih dalam dari pelajaran manapun yang ia pelajari di kelas. Untuk pertama kalinya, ia melihat iman bukan dalam buku atau homili, tetapi dalam air mata dan senyum seorang oma yang hidupnya seperti puisi pengharapan yang terucap diam-diam. Livia mulai kembali bukan karena tugas, tetapi karena rindu. Ia duduk lebih lama, mendengar lebih banyak, belajar mencatat bukan hanya dengan pena tapi dengan hati. Dalam keheningan rumah jompo, Livia menemukan suara Tuhan yang selama ini tak bisa ia dengar di keramaian.

Dari benih kecil itu tumbuh keberanian. Livia menggagas kelompok doa lintas generasi di parokinya. Ia menyatukan remaja dan lansia dalam satu lingkaran doa, saling berbagi kisah dan iman. Mereka bukan lagi “yang tua” dan “yang muda”, tetapi sahabat seperjalanan dalam ziarah hidup. Ia menyaksikan sendiri bagaimana lansia yang semula merasa dilupakan, mulai bersinar kembali karena tahu bahwa cerita mereka didengar, diingat, dihargai. Dan para muda, yang tadinya sibuk mengejar validasi digital, kini mulai menemukan nilai sejati dalam keheningan, dalam relasi, dalam iman yang hidup.

Kisah Livia dan Oma Maria adalah kisah kita semua. Ketika dua generasi saling membuka hati, harapan tidak hanya dipertukarkan—ia dilahirkan kembali. Dalam dunia yang sering mengkotakkan usia, mereka menunjukkan bahwa kasih Tuhan tidak mengenal musim. Ia bisa mekar di musim senja, dan bisa tumbuh dalam pagi yang belum genap. Dan dalam perjumpaan itu, kita semua—baik muda maupun tua—dipanggil untuk menjadi ladang harapan yang subur, tempat di mana kasih tidak mengenal masa kadaluarsa.

Katekese ini mengajak kita untuk mengubah cara kita memandang lansia dan anak muda: bukan sebagai golongan yang "belum" atau "sudah lewat", melainkan sebagai mitra perjalanan rohani. Kaum muda perlu didampingi, bukan dikendalikan. Kaum tua perlu didengar, bukan diabaikan.

Gereja kita kaya dengan teladan pewarisan iman: Abraham dan Ishak, Naomi dan Rut, Maria dan Elisabet, Paulus dan Timotius. Di dalam relasi-relasi ini, kita melihat bahwa iman tidak berdiri sendiri – ia berkembang dalam komunitas, dalam cerita bersama.

Paus Fransiskus dalam Christus Vivit menulis: “Kaum muda membutuhkan akar, sejarah, dan tradisi. Mereka perlu ingatan hidup. Para lansia adalah bagian dari identitas kita.” Maka, tugas Gereja bukan hanya merangkul masa muda dengan semangat, tetapi juga membangun jembatan yang kuat antar generasi.

Katekese ini juga menyadarkan kita bahwa keluarga adalah tempat pertama dan utama dalam pewarisan iman. Dalam keluarga yang hidup, doa bersama dan kisah iman dari kakek-nenek menjadi benih yang bertumbuh dalam hati anak-anak.

Namun tantangan zaman ini tidak kecil. Individualisme, kesibukan teknologi, bahkan perpecahan dalam keluarga membuat hubungan antar generasi menjadi rapuh. Oleh sebab itu, kita diajak membangun “komunitas pengharapan” – ruang aman di mana muda dan tua bisa saling memperkaya dan menyembuhkan.

Tindakan konkret sangat diperlukan: komunitas basis yang melibatkan lansia sebagai narasumber spiritual; program pelayanan kaum muda yang bukan hanya karitatif tetapi juga dialogis; dan liturgi yang membuka ruang kesaksian iman lintas generasi.

Perutusan

Saudara-saudari terkasih, marilah kita melanjutkan perjalanan iman kita sebagai komunitas pengharapan. Dalam Kristus, tidak ada tua dan muda, sebab yang terpenting adalah kasih yang terus tumbuh dan dibagikan. Jadilah bagian dari jembatan pengharapan – menyapa, merangkul, dan menyemangati satu sama lain dalam kasih Tuhan.

Semoga katekese ini mendorong kita untuk membangun keluarga dan komunitas yang saling menumbuhkan. Sebab hanya dengan berjalan bersama—muda dan tua, kuat dan lemah—kita dapat menjadi Gereja yang hidup dan memberi kesaksian bahwa harapan dalam Kristus tidak pernah mengecewakan.

Doa Yubileum

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun