Mohon tunggu...
P Joko Purwanto
P Joko Purwanto Mohon Tunggu... Teacher

Becoming added value for individual and institute, deeply having awareness of personal branding, being healthy in learning and growth, internal, external perspective in order to reach my vision in life, and increasingly becoming enthusiastic (passion), empathy, creative, innovative, and highly-motivated.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menyelami Deep Learning dengan Kacamata Ki Hajar Dewantara - Refleksi Hari Pendidikan Nasional 2025

1 Mei 2025   23:51 Diperbarui: 1 Mei 2025   23:51 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(https://www.semogabermanfaat.web.id/2017/05/ki-hajar-dewantara-pribumi-bernyali.html)

Pengantar

Pendidikan di abad ke-21 dihadapkan pada tantangan paradoksal: di satu sisi, kemajuan teknologi menawarkan peluang pembelajaran tanpa batas; di sisi lain, disrupsi digital berpotensi mengikis nilai-nilai humanis dalam pedagogi (UNESCO, 2021). Dalam konteks ini, pemikiran Ki Hajar Dewantara (1889-1959)—Bapak Pendidikan Indonesia—kembali relevan sebagai kompas filosofis untuk menavigasi kompleksitas pendidikan modern. Artikel ini merekonstruksi enam prinsip pedagogi Ki Hajar Dewantara yang terbukti adaptif terhadap kebutuhan pembelajaran kontemporer, sekaligus berakar kuat pada nilai-nilai kebudayaan Indonesia.

Pertama, konsep deep learning yang berpusat pada berpikir kritis dan pemecahan masalah kompleks (Fullan & Langworthy, 2014) ternyata telah diantisipasi oleh Ki Hajar Dewantara melalui prinsip "Pendidikan yang Memerdekakan"—di mana pembelajaran harus membebaskan akal budi dari belenggu hafalan (Dewantara, 1961). Kedua, pendekatan student-centered learning dengan metode inkuiri dan berbasis proyek (Thomas, 2000) secara filosofis sejalan dengan sistem "Among" dan semboyan "Tut Wuri Handayani" yang menempatkan guru sebagai fasilitator (Wardani et al., 2020).

Ketiga, meski hidup di era pra-digital, prinsip "Kodrat Alam" Ki Hajar Dewantara (Dewantara, 1977) memberikan landasan etis untuk integrasi teknologi pendidikan—bukan sebagai tujuan, melainkan alat untuk memperluas tuntunan pedagogis (Selwyn, 2019). Keempat, penekanan pada pembelajaran kolaboratif dan sosial-emosional (CASEL, 2020) merupakan kristalisasi dari konsep "Tri Pusat Pendidikan" (keluarga-sekolah-masyarakat) yang menekankan pendidikan sebagai proses sosial (Vygotsky, 1978).

Kelima, komitmen terhadap lifelong learning guru melalui refleksi pedagogis (Schön, 1987) tercermin dalam prinsip "Ing Ngarsa Sung Tuladha" tentang keteladanan pendidik (Dewantara, 1961). Keenam, pendekatan holistik berbasis budaya (Gay, 2018) adalah implementasi langsung dari filosofi "Kebudayaan sebagai Pangkal Pendidikan" yang menolak dikotomi antara pengetahuan akademik dan kearifan lokal (Zamroni, 2020).

Artikel ini menganalisis secara kritis bagaimana keenam prinsip tersebut tidak hanya relevan, tetapi justru menjadi solusi untuk menjawab tantangan pendidikan di era disrupsi—dengan tetap berpegang pada visi Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan yang "memerdekakan hidup lahir dan batin" (Dewantara, 1961, p.45). Melalui sintesis antara kajian literatur kontemporer dan naskah-naskah klasik Ki Hajar Dewantara, ditunjukkan bahwa warisan pemikiran beliau bukan sekadar relik sejarah, melainkan living philosophy yang terus bernapas dalam praktik pendidikan mutakhir.

Prinsip Ki Hajar Dewantara dalam Pemahaman Konsep Deep Learning: Pendidikan yang Memerdekakan Akal Budi

Ki Hajar Dewantara menekankan bahwa pendidikan sejati harus "memerdekakan" (Dewantara, 1961, p. 45), artinya pembelajaran tidak boleh membelenggu siswa dengan hafalan semata, melainkan harus mengembangkan daya cipta dan nalar (akal budi). Dalam konteks deep learning, hal ini berarti guru harus mendorong siswa untuk berpikir kritis (critical thinking), di mana mereka tidak hanya menerima informasi pasif, tetapi menganalisis, mengevaluasi, dan merekonstruksi pengetahuan secara mandiri (Fullan & Langworthy, 2014). Pendekatan ini sejalan dengan filosofi Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan harus membebaskan pikiran dari dogmatisme, sehingga siswa menjadi insan yang kreatif dan solutif.

Lebih jauh, Ki Hajar Dewantara melihat bahwa pemecahan masalah kompleks (problem-solving) adalah inti dari pembelajaran yang bermakna (Dewantara, 1977, p. 32). Deep learning, yang berfokus pada pemahaman mendalam dan aplikasi pengetahuan dalam konteks nyata, sejalan dengan prinsip "among system"—di mana guru berperan sebagai fasilitator yang membimbing siswa untuk menemukan solusi melalui eksplorasi (Wardani et al., 2020). Dengan demikian, pembelajaran tidak lagi bersifat mekanis, tetapi menjadi proses dinamis yang mengasah keterampilan siswa dalam menghadapi tantangan multidimensi, sebagaimana diajarkan dalam filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara.

Selain itu, Ki Hajar Dewantara menekankan pentingnya koneksi antar-disiplin ilmu (interdisciplinary learning) sebagai cara untuk memahami realitas secara holistik (Dewantara, 1961, p. 58). Dalam deep learning, guru harus merancang pembelajaran yang mengintegrasikan berbagai bidang pengetahuan, sehingga siswa dapat melihat hubungan antara sains, seni, budaya, dan kehidupan sehari-hari (Boix Mansilla & Jackson, 2011). Pendekatan ini mencerminkan prinsip "Tri Kon" (kontinuitas, konvergensi, dan konsentrisitas) dalam pemikiran Ki Hajar Dewantara, di mana pengetahuan tidak terpisah-pisah, tetapi saling terkait dalam sebuah kesatuan yang harmonis.

Prinsip Ki Hajar Dewantara dalam Penguasaan Metode Pembelajaran Aktif: Tut Wuri Handayani sebagai Fondasi Pedagogi Memberdayakan

Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa peran guru dalam pembelajaran adalah "Tut Wuri Handayani"—mendorong dari belakang, bukan mengendalikan dari depan (Dewantara, 1961, p. 72). Prinsip ini selaras dengan pendekatan student-centered learning, di mana siswa menjadi subjek aktif yang mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, sementara guru berperan sebagai fasilitator (Weimer, 2013). Dalam perspektif filosofis Ki Hajar Dewantara, hal ini mencerminkan penghormatan terhadap kodrat anak sebagai insan merdeka yang memiliki potensi untuk berkembang secara alamiah. Pendidikan bukanlah proses indoktrinasi, melainkan ruang dialogis di mana guru memberikan tuntunan agar siswa mampu menemukan jati diri dan pengetahuannya secara mandiri.

Pendekatan inquiry-based learning juga merupakan manifestasi dari prinsip "Among System" dalam pemikiran Ki Hajar Dewantara (Wardani et al., 2020). Sistem among menekankan pentingnya lingkungan belajar yang memungkinkan siswa mengeksplorasi, bertanya, dan menemukan pengetahuan melalui pengalaman langsung—sebagaimana seorang petani membiarkan benih tumbuh sesuai dengan hukum alamnya (Dewantara, 1977, p. 89). Dalam konteks ini, guru tidak memberikan jawaban instan, melainkan merancang tantangan belajar yang memicu rasa ingin tahu dan daya analisis siswa (Kuhlthau et al., 2015). Proses ini sejalan dengan pandangan Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan harus membangkitkan "kekuatan kodrat" anak, bukan memaksakan kehendak guru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun