Mohon tunggu...
Pius Rengka
Pius Rengka Mohon Tunggu... Pemulung Kata -

Artikel kebudayaan, politik, sosial, budaya, sastra dan olahraga. Facebook:piusrengka. Surel:piusrengka@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menerka Teka Teki Victor Laiskodat di Politik TTS

28 Januari 2019   22:37 Diperbarui: 31 Januari 2019   21:11 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: https://telusuri.id/masominta/

Oleh Pius Rengka

Victor Lasikodat, jago pidato. Bicara lugas, tajam dan cenderung kasar. Tetapi, option for the poor adalah panggilan  utama moral perjuangannya. Dia gerah melihat ini NTT miskin terus.

Victor B. Laiskodat, di SoE, Minggu (27/1/2019), menuding Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) sebagai Kabupaten paling bermasalah di NTT, karena dipimpin para pemimpin orang bodok.

TTS itu, tak sekadar nama kabupaten di tepi tengah selatan Pulau Timor. TTS adalah teka teki paling silang yang bersilang sejak lama untuk berbagai jenis keterbelakangan.  Bagaimana tidak.

TTS  menyimpan profil luka dan derita manusia amat sangat panjang. Tetapi TTS merupakan seketul pantulan sosial tentang nasib Nusa Tenggara Timur.

Di TTS masalah bertumpuk  tak pernah tuntas diurus. TTS juga mengukuhkan nasib sejarahnya sekadar  sebagai pelengkap distribusi dan kontribusi politik tanpa insentif  ekonomi dan sosial lain. Politik, bagi TTS  kejam nian. TTS tak lebih dari penyumbang suara dukungan politik bagi mereka yang hendak berkuasa.

TTS itu, hanya berlipur bangga dalam balutan  jelata sarung tenunan Timor sembari mengunyah sirih pinang di tepian jalan. TTS  sepertinya pantulan  profil dari kabupaten yang lupa (selalu lupa) diurus tuntas entah oleh siapa. Begitu pun NTT.

Untuk urusan politik elektoral, TTS cuma berfungsi sebagai penyumbang suara. Belum ada politisi  asal TTS yang duduk di lembaga legislatif pusat. Rakyat TTS malah gemar menyumbangkan suara mereka untuk anak tak "dikenal".

Sementara untuk urusan rumah tangga sendiri, TTS terbelah. Urusan politik elektoral mencari bupati selalu dikendalikan friksi permanen sentimen etnik utara selatan, tengah, barat, Amanatun, Amanuban. Tetap begitu sejak dahulu. Kali lain, TTS disindir sebagai wilayah Tanah Tetap Susah atau Tempat Tunggu Susah.

TTS dikenal luas sebagai kabupaten padat cendana. Tetapi, sejak tahun 1980-an, pohon cendana perlahan kian punah karena dicuri para rente berkuasa. Cendana tak mengubah TTS. Cendana pun tinggal kenangan sejarah. Para pemangsa cendana keluar masuk TTS. Para pemusnah cendana berpangkat politisi, aparat hukum, aparat negara dan para pedagang spekulan.

Sirene mobil jenasah yang meriung, diduga ada orang sakit yang perlu dilarikan ke rumah sakit. Padahal, sesungguhnya muatan yang ada di  mobil jenasah itu  adalah kayu cendana yang dipesan pejabat  jauh di Jawa atau tempat lain.

Human Trafficking:

TTS dikenal juru jual manusia juga. Manusia muda dikirim ke Malaysia, Serawak, Nunukan, Hongkong, Singapura, dan ke tempat lain sebagai TKI dengan harapan ada perubahan nasib di kelak kemudian hari.

Namun, apa lacur. Para babu itu, dikirim pulang tanpa nyawa dan tanpa organ tubuh. Siapa para pemainnya? Para pemainnya adalah para politisi, pebisnis, dan elit lokal di kampung-kampung. Kasus human trafficking di daerah ini masih banyak.

Moratorium TKI versi Gubernur Victor Laiskodat, Josef Nae Soi, tak fungsional. Ini moratorium, tampaknya, meredup ketika arus pengiriman tenaga kerja masih masif usai moratorium terbit.

Terkesan, moratorium hanya gertak sambal tanpa rasa pedis. Awal tahun 2019,  PT. Citra Bina Tenaga Mandiri (CBTM) mengirim  TKI berdasarkan surat keputusan Pemprop Nomor: 560/02/PP.02/2019.

Yosinta Boineno, dari Desa Sono, Amantun Utara, TTS, balik ke kampung  sudah jadi jenasah setelah 8 tahun merantau jauh ke Malaysia. Yosinta direkrut  Yunus Fahik melalui PT. Citra Bina Tenaga Mandiri. Yosinta Boineno adalah satu dari 11 mayat PMI asal NTT yang dipulangkan sepanjang Januari 2019.

Jasad-jasad yang dikirim pulang ke NTT adalah para PMI yang berangkat saat NTT dipimpin Gubernur Frans Leburaya. Karena itu, banyak pihak berharap agar Frans Leburaya memberi kesaksian. Frans patut dimintai kesaksiannya karena  Frans Leburaya tahu persis kasus itu.

Tampaknya, dukungan politik atas moratorium melemah. Seruan  Gubernur Victor tentang patah kaki dan tendang batang leher jika ada pelanggar moratorium TKI asal NTT, dianggap khalayak gertak sambal belaka.

Di sebuah group WA ada yang menulis sinis begini: Kontradiktif, omong moratorium itu esensi opo???? Sekadar penyedap rasa sesaat..... moratorium di permukaan di bawah sana ijin keluar.... nggak profesional serta konsisten..... malas.

Tentu saja, banyak pihak masih menyimpan harapan. Karena Gubernur Victor dan Joss Nae Soi, dianggap masih konsisten di garis tekadnya yang tegas. Ucapan dan tindakan berjalan lurus. Pasangan ini dipilih rakyat untuk memecahkan masalah NTT.

Banyak pihak percaya, keduanya sudah berpunya (the haves) mendahului waktu berkuasa. Keduanya diharapkan tak korupsi  dana APBD NTT atau APBN. APBD dan APBN didekasikan seutuhnya untuk menyelesaikan masalah rakyat yang menderita.

Memang, ada kesan, manusia NTT itu enggan keluar dari kemiskinannya. Buktinya? Rakyat NTT selalu memilih pemimpin orang  bodok sebagaimana ditudingkan Victor Lasikodat di TTS, hari Minggu pekan lalu. Tentu saja, Victor Laiskodat, sudah memulai melakukan gebrakan penting. Tinggal waktu selanjutnya mengatur langkah yang pas.

TTS juga dikenal kaya ternak. Tetapi ternak sapi kian menipis, bukan lantaran peternak malas atau ketiadaan padang penggembalaan, melainkan karena para pemain sapi memang sangat banyak.

Frans Leburaya pernah bermimpi agar NTT menjadi propinsi ternak. Gubernur NTT dua periode itu   bertekad mengirim daging olahan ke luar NTT.

"NTT harus punya pabrik olahan daging sapi, sehingga yang dieksport  adalah hasil olahan bukan sapi gelondongan," ujar Frans kala itu. Hingga ia meninggalakn kursi gubernur, mimpi itu tak pernah terwujud.  

Sekelumit Sejarah:

Dahulu kala, penjajah datang ke Timor untuk tujuan jelas. Mereka mencari lilin, madu dan cendana. TTS ditilik sebagai satu pusat kerajaan cendana, madu dan lilin. Belanda datang untuk dagang. Sebagaimana umumnya pedagang, mereka tidak hanya berusaha mengakumulasi modal usaha, juga belajar cara berkuasa supaya  usaha dagang tetap berjalan aman dan nyaman, lalu melakukan ekspansi.

Belanda pun mendatangkan ahli antropologi sosial untuk menelisik lebih dalam gerangan apa kiranya sosok antopologis sosial masyarakat Timor. Ditemukan, Pulau Timor tak hanya kaya kayu cendana, madu dan lilin, juga punya serat potensial hadirnya faksi-faksi sosial.

Singkat kisah, van Mook melihat, konteks kultural dan budaya manusia di sini gampang dirajam politik devide et impera (membagi atau dibagi-bagi lalu dikuasai). TTS pun terkena rembesan politik devide et impera ini.

Begitulah, hingga kini TTS terbelah. Sayangnya, para politisi di TTS merawat keterbelahan itu hingga kini. Politisi di sini pun sangat santun pada tamu dari macam-macam jenis seragam. Para tamu dihadiahi cendana, madu dan lain sebagaimana, termasuk sarung Timor nan indah itu. Pemusnahan cendana pun beriring dengan sejarah perebutan kuasa di tanah ini.

Sejak kolonialisasi Belanda masuk ke sana, mentalitas mayoritas politisi lokal berubah.  Mereka bersembah ke para pelancong, tetapi menindas ke kalangan sendiri.

Itulah sebabnya, politik devide et impera ala kolonial ditiru politisi TTS dengan sangat pas terutama untuk kalangan sendiri. Mereka menghormati para pelancong, tetapi menindas kaumnya sendiri.

Bupati-bupati yang pernah memimpin TTS, kecuali Piet A. Tallo, nyaris tak ada prestasi. Paul Mella misalnya. Dia berkuasa  dua periode, tetapi reputasi apa yang patut dihitung. Belum terlalu jelas.

Jika kini Gubernur Victor Laiskodat berang lalu menuding TTS terbelakang dan miskin, karena pemimpinnya bodok, saya kira kemiskin dan keterbelakang bukan karena mereka malas dan bodok, melainkan karena pemimpinnya  melanggengkan  mentalitas penjajahan atas kaumnya sendiri.

Contoh lain. Tak ada politisi  TTS menjadi anggota legislatif mewakili kepentingan mereka di pusat, karena manusia TTS atau Timor seluruhnya, lebih suka memilih orang "asing". Karena orang "asing" dianggap tidak mengganggu   kenyamanan mereka sendiri ke dalam. Orang TTS sendiri nyaman dalam selimut budaya saling menjajah ke dalam kaum sendiri.  Akibatnya, mereka tidak menaruh hormat akan prestasi intelektual kaum sendiri karena mentalitas ini terlembaga ke dalam postur struktural dan kultural.

Jika demikian, apa yang seharusnya dilakukan? Gubernur NTT, Victor Laiskodat perlu membongkar semua jenis kepalsuan ini. Caranya? Pembongkaran dimulai dari lingkungan birokrasi terdekat Victor Laiskodat sendiri, yaitu di kantor gubernur. Victor perlu memberi contoh tegas dan jelas di level kantor gubernur NTT sebelum memperbaiki kabupaten.

Bagi saya, tak ada gunanya Gubernur Victor mengolok pemimpin di Timor Tengah Selatan, sebelum urusan di kantor Gubernur tuntas. TTS itu akan tetap menjadi kabupaten teka teki silang yang bersilang untuk memahami peta problem NTT seluruhnya.

Catatan: Tulisan sejenis disiarkan melalui VoxNtt.com, 28 Januari 2019. Tulisan direwriting dan mengalami perubahan sesuai konteks media Kompasiana.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun