Mohon tunggu...
Pius Rengka
Pius Rengka Mohon Tunggu... Pemulung Kata -

Artikel kebudayaan, politik, sosial, budaya, sastra dan olahraga. Facebook:piusrengka. Surel:piusrengka@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi di Tengah Negara Fragmentasi

8 Januari 2019   00:59 Diperbarui: 8 Januari 2019   01:04 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilihan Presiden dan legislatif April 2019, tentu saja, didambakan khalayak berlangsung demokratis. Harapan itu kian absurd ketika kompetisi demokrasi di panggung publik tampaknya babak belur dihajar hoaks berkali-kali. 

Hoaks serius tercatat sedikitnya  satu yang paling super heboh sepanjang 2018, ketika Ratna Sarumpaet dikhabarkan dihajar orang tak dikenal. Ratna dihajar lawan politik, begitu khabar itu tersiar luas.  Kita semua tahu, Ratna Sarumpaet adalah satu dari team sukses kubu Prabowo.

Berita Ratna dihajar lawan politik, tentu saja, segera asosiatif dengan kubu Jokowi. Jadi yang menghajar Ratna adalah orang suruhan team Jokowi. Berita itu menyebar sangat lekas ke seluruh sudut sosial negeri ini, serentak dengan itu pula berita Ratna dihajar lawan politik mengundang perhatian amat sangat luas.  

Berita Ratna Sarumpaet dihajar orang tak dikenal segera menyedot keprihatinan yang sangat luas, apalagi umum telah mahfum Ratna gemar mengkritisi pemerintahan Jokowi amat sangat sarkas. Jadi, tatkala  Ratna diberitakan begitu, khalayak sepertinya agak menuding Jokowi. Isi tudingan kira-kira begini:  demokrasi  elektoral tidak membenarkan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan.

Beberapa saat berselang, ketika aparat polisi mengendus kasus itu, diketahui jelas, Ratna bukan dihajar lawan politik. Tetapi Ratna  berwajah agak tidak sebagaimana biasanya itu karena dia mengikuti serial operasi atas wajahnya. Ia tidak dihajar, tetapi wajahnya lebam disengat sayatan pisau operasi reparasi wajah.

Namun, berita Ratna Sarumpaet dihajar lawan, terus terang, telah membimbing team inti kubu Prabowo. Bahkan Prabowo sendiri, sangat terang terbimbing siar warta itu sampai kemudian Prabowo memberi keterangan pers.

Dalam keterangan pers itu jelas disebutkan, Ratna Sarumpaet dihajar orang tak dikenal. Prabowo menuntut agar pemerintah segera menangkap pelaku nan keji itu. Meski kemudian team inti kubu Prabowo dan Prabowo sendiri memanggungkan amat liar ralat siar, tetapi berita itu terlanjur memacu dan memicu  pembilahan sosial di lapisan masyarakat. Pembilahan sosial sebagai realitas terberi (given) dipicu oleh kompetisi politik, kemudian mengental dan berubah menjadi politik aliran.

Pembilahan sosial (social cleavages) tak hanya membangkitkan fragmentasi  lama yang anasir politiknya ada sejak rejim otoritarian Orde Baru, tetapi juga fragmentasi sosial kian mengalami akselerasi justru karena faksi-faksi politik aliran kian mengalir  liar.  Sebagaimana tulisan saya sebelumnya (vide: Kompasiana: Antara wajah bipolar atau multipolar politik Pilpres 2019)

Timbul pertanyaan, apakah hoaks itu sebagai bagian dari game  etape politik elektoral ketika pada konteks temporary yang sama elektorasi Jokowi cenderung menguat? Apakah hoaks itu semacam entitas teknik melumpuhkan atau melemahkan dan menghambat laju elektorasi Jokowi? 

Hingga tulisan ini dibuat belum ditemukan satu pun analisis sahih politik yang sanggup menjelaskan  gejala ini dengan lebih dekat kebenaran empiriknya.

Namun,  pada awal tahun 2019, tampaknya ada semacam tanda. Apa itu? Khalayak politik Indonesia kembali heboh ketika dikhabarkan ada tujuh kontainer kertas suara yang sudah dicoblos di Tanjung Priok.

Analisa para supporter inti kubu Prabowo menyebutkan,  pihak yang paling mungkin melakukan perbuatan tercela itu adalah orang yang dekat dengan kekuasaan aktual. Tetapi selang beberapa saat, ternyata  tujuh kontainer kertas suara itu hoaks. Lagi-lagi ada semacam framing sengaja diciptakan agar imajinasi terhadap Jokowi buruk itu menguat dan harus menguat.

Jika dicermati ulang dua berita hoaks di atas, ditemukan semacam similaritas pola. Yaitu bahwa ketika elektabilitas Jokowi cenderung naik atau sedikit mengalami stagnasi, maka hoaks muncul.  Dengan kata lain, produksi hoaks didisign untuk menahan laju pertumbuhan elektorasi, sambil terus berharap ditemukan isu-isu baru yang sanggup menumbangkan keunggulan Jokowi secara signifikan.

Dikhawatirkan, bila metode hoaks  mengalami kegagalan beruntun dan karenanya tidak berhasil menurunkan atau memperlambat laju elektorasi Jokowi, maka yang mungkin akan diciptakan adalah chaos.  Chaos ini mudah disulut karena fragmentasi sosial sudah kian meluas.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana nasib demokrasi  di  negara fragmentatif seperti ini? Sedikit jawaban tentang hal itu akan dijelaskan berikut ini.

Demokrasi, memang, selalu mengandaikan sedikitnya tiga hal utama. Pertama, demokrasi mengandaikan rakyat (demos) terdidik secara merata dalam kultur kompetisi rasional yang dibimbing akal sehat untuk mengkalkulasi pesona visi misi dan program partai politik dan para aktor politik yang terlibat di dalamnya. Demos yang literatif ini terbimbing  jalan rational dalam menentukan pilihan politiknya. 

Variasi pilihan politik hanyalah menjadi akibat dari kecenderungan ideologis yang dekat dengan kepentingan masing-masing para pemilih. Jadi, masyarakat kampung A, misalnya,  tidak memilih si Badu bukan karena Badu tidak satu agama atau etnik dengan warga kampung A, melainkan karena si Badu tidak aksesibel dengan kepentingan terdekat mereka.

Kedua, demokrasi mengandaikan tingkat kesejahteraan ekonomi rakyat relatif di atas ambang batas kemiskinan masuk akal, sehingga rakyat  terbebaskan dari bimbingan dan godaan money politics dalam kompetisi elektoral.

Ketiga, demokrasi juga mengandaikan  swing voters tidak sebagai kelompok tanpa ideologi,  atau tanpa orientasi politik, melainkan eksistensi swing voters ditentukan oleh pasar politik yang ditawarkan politisi.

Mencermati tiga pengandaian itu, tampaknya, nasib demokrasi di negara fragmentasi akan terus mengalami ujian serius. Karenanya, meski tiga pengandaian ini  eksisting dalam kompetisi elektoral, tetapi  secara a priori fragmentasi  sosial yang disebabkan pembilahan sosial tetap menajam karena selalu ada aktor politik yang terus memeliharanya.  Aktor-aktor itulah yang terus memproduksi hoaks karena dengan demikian konflik politik tetap eksis. Hal itu persis sama dengan kasus politik identitas di Irlandia Utara dan Selatan dalam sejarah dunia.

Apa solusi? Solusi yang paling mungkin yang dapat dikembangkan ialah memperjamak blok politik prodemokrasi di level masyarakat lapisan paling jauh, seperti di desa dan di kampung-kampung.  Untuk itu masyarakat sipil prodemokrasi tidak lagi perlu "menyerang" teritori kota melainkan masuk ke kampung-kampung dan kawal perbedaan di sana sambil terus mengadvokasi serat-serat budaya  civic education.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun