Mohon tunggu...
Pitrus Puspito
Pitrus Puspito Mohon Tunggu... Guru Bahasa dan Sastra Indonesia

Reading is caring, writing is sharing.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Potret Kemanusiaan Dalam Cerpen A.S. Laksana "Murjangkung: Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu"

20 September 2025   18:11 Diperbarui: 20 September 2025   18:11 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: bukukita.com

Sastra kerap kali hadir sebagai cermin kehidupan: menampilkan wajah manusia yang penuh keinginan, obsesi, luka, juga ironi. Itulah yang terasa kuat dalam kumpulan cerpen A.S. Laksana berjudul Murjangkung: Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu. Buku ini berisi 20 cerpen yang secara jenaka sekaligus getir memotret sisi-sisi kemanusiaan yang jarang diungkap secara gamblang: relasi keluarga, hasrat yang menyimpang, trauma sosial, bahkan tabir gelap dalam diri manusia.

Sejak cerpen pertama, pembaca diajak memasuki dunia yang terasa akrab namun juga ganjil. Sebuah realisme yang bercampur dengan fantasi, mirip dongeng, tetapi tetap mengakar pada kenyataan sehari-hari. Tiga cerpen yang menonjol karena tema dan istilahnya yakni Dua Perempuan di Satu Rumah, Kuda, dan Peristiwa Terakhir, Seperti Komidi Putar, menjadi semacam "alarm moral" yang memancing pembaca untuk merenung. Misalnya, kisah seorang ayah yang berganti kelamin dan berhadapan dengan stigma; potret pekerja seks di ruang perjudian; hingga kisah yang menyerupai legenda Dayang Sumbi dan Sangkuriang, tentang hubungan tabu antara ibu dan anak. Tema-tema tersebut jelas menantang, bahkan mungkin mengejutkan pembaca muda. Namun A.S. Laksana tidak menampilkannya untuk sensasi belaka, melainkan untuk menyingkap lapisan kompleks dari realitas sosial dan psikologis.

A.S. Laksana: Sastrawan yang Berani Menyentuh Batas

Lahir di Semarang pada 25 Desember 1968, A.S. Laksana adalah sosok sastrawan, kritikus sastra, sekaligus wartawan. Latar belakangnya sebagai jurnalis (pernah menjadi wartawan Detik dan Investigasi), membentuk gaya penceritaannya yang tajam, detail, tetapi tetap mengalir. Cerpen-cerpennya sering terpilih sebagai cerpen terbaik Kompas dan Pena Kencana. Buku kumpulan cerpen sebelumnya, Bidadari yang Mengembara, bahkan dinobatkan Majalah Tempo sebagai buku sastra terbaik 2004.

Keberanian A.S. Laksana terlihat pada pilihan temanya. Ia tidak segan menuliskan pengalaman hidup yang dianggap tabu, istilah kasar, bahkan unsur sadisme atau rasisme. Namun dalam karyanya, semua itu terasa proporsional, lebih sebagai bagian dari penggambaran karakter dan situasi ketimbang sekadar provokasi. Gaya bahasa humoris-ironi yang ia gunakan justru memberi ruang bagi pembaca untuk merenung sambil tersenyum getir.

Bahasa yang Menantang Imajinasi

Salah satu kekuatan Murjangkung adalah gaya bahasanya. A.S. Laksana menuturkan cerpen-cerpen ini laksana mendongeng, membuat pembaca ingin terus mengikuti kelanjutannya. Bahkan pada bagian-bagian yang mengandung istilah seksualitas, kekerasan, atau umpatan, kita tetap menemukan keindahan naratifnya. Ia lihai menyisipkan komentar sosial yang tajam melalui bahasa yang sederhana, kadang jenaka, kadang pahit.
Inilah yang membuat buku ini menarik untuk pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA/SMK. Siswa bisa belajar tidak hanya unsur intrinsik (tema, alur, tokoh, latar, gaya bahasa), tetapi juga konteks sosial dan nilai kehidupan yang terkandung di balik cerita. Guru tentu memegang peran penting sebagai pendamping, memberi pengantar, mengonfirmasi pertanyaan siswa, dan mengarahkan diskusi sehingga materi yang sensitif dapat dipahami secara proporsional.

Konten Sensitif: Batas Wajar dan Ruang Refleksi

Buku ini memang memuat istilah dan adegan yang berkaitan dengan seksualitas, LGBT, sadisme, umpatan, maupun rasisme. Namun secara keseluruhan, konten tersebut masih dalam batas wajar jika dilihat sebagai bagian dari realitas tokoh. Justru di sinilah peluang pembelajaran sastra: siswa diajak tidak hanya memahami teks, tetapi juga mengolah empati dan penalaran moral. Meski begitu, beberapa cerpen yang temanya lebih dewasa seperti Dua Perempuan di Satu Rumah, Kuda, dan Peristiwa Terakhir, Seperti Komidi Putar bisa diseleksi atau dibahas dengan pendekatan yang lebih hati-hati. Guru dapat menggunakan bagian lain yang lebih netral untuk fokus pada analisis gaya bahasa, alur, atau nilai kehidupan.

Sastra Masuk Ruang Diskusi

Membaca Murjangkung: Cinta yang Dungu dan Hantu-Hantu bukan hanya soal menikmati cerita, tetapi juga tentang melatih kepekaan sosial, keberanian menghadapi isu-isu tabu, dan keterampilan berbahasa. Gaya humoris-ironi A.S. Laksana mampu memancing imajinasi siswa, meningkatkan kemampuan mereka menginterpretasi teks, sekaligus menumbuhkan minat membaca dan menulis. Guru berperan sebagai mediator, menjelaskan teori gaya bahasa, mengarahkan diskusi, dan membantu siswa memaknai istilah-istilah sensitif dengan bijak. Dengan begitu, sastra tidak hanya menjadi hiburan, melainkan juga sarana refleksi dan pembentukan karakter.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun