Mohon tunggu...
Petrus Pit Duka Karwayu
Petrus Pit Duka Karwayu Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Jalanan

Jika kamu tidak bisa membuat orang lain kagum dengan kepintaranmu, maka paling tidak kamu dapat membuat mereka bingung dengan kebodohanmu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Karmila

29 April 2022   00:13 Diperbarui: 29 April 2022   07:47 1300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah seminggu ini, saya mencari apakah di dalam Gereja Katolik ada orang kudus yang bernama "Karmila". Saya tidak menemukan. Yang ada hanya Santa Camilla Battista Varani, putri Yang Mulia Kaisar Yulius dari Camerino, Italia. Dia dikenal lewat kebhaktiannya meratapi sengsara Kristus setiap Jumat Agung bahkan sampai mendapat stigmata. Lebih parah lagi, layar komputer bahkan menampilkan Karmila si Vampir Perempuan dalam serial The Dark Blues (1871-1872) karya novelis Gotik Irlandia Joseph Thomas Sheridan le Fanu. Waktu saya sedang mengetik tulisan ini pun, seorang adik semester yang melihat judul tulisan ini langsung menyebut Karmila dan Lusia si vampir erotik. Dan memang Karmila milik le Fanu adalah tokoh dengan karakter demikian.

 Saya kemudian mencari arti nama Karmila, dan yang muncul adalah "nama perempuan dengan etiket penyabar, penyayang, pemalu meski memiliki kekuatan". Bukannya tidak mengamini pengertian "Karmila" ini, namun Karmila yang hidup bersama saya tidaklah penyabar, tidak juga penyayang, apalagi pemalu. Dia lebih mirip "Aku" dalam puisi Chairil Anwar, yang dibaca dengan nada menyentak. Karena di dalam "Aku" itu Karmila menyamaratakan. Ada semacam penjungkirbalikkan dan penghancuran hubungan vertikal yang umumnya diakui.

Karmila yang saya kenal adalah manusia yang lengkap dengan kebimbangan dan rasa marah, rasa bersalah dan takut pada yang sepi, yang menampik kebenaran-kebenaran mutlak, menyambut derita pada kisah yang lurus, merangkul nista dan ketidakpastian juga pembangkangan, dan merayakan perbedaan dan persamaan. Dia mungkin tidak menyelesaikan perkara di dalam diri dan di dunianya seratus persen. Tetapi ia menjadi manusia. Yang terkadang tersenyum pahit karena "Bagai matahari aku kini menyinari segala yang Mati, Hancur dan Sia-Sia". Singkatnya saya tdak menemukan sumber yang memuaskan untuk berkisah tentang Karmila yang saya kenal.

Saya akhirnya merenung-renung sendiri di kamar dan teringat masa lalu. Saya ingat dulu di masa SD sampai SMA, kami keluarga menggemari lagu Farid Hardja. Saya bahkan menghafal sebagian lagunya: "Ini Rindu", "Bercinta di Udara", "Romantika Diamor", dan "Telaga Saga Warna" (karena lagu itu sampai saat ini sering saya nyanyikan dalam pementasan drama). "Karmila" adalah salah satu lagu dari Hardja.

Dikisahkan dalam lagunya, Karmila adalah gadis berusia sebelas tahun yang sudah kelihatan seperti orang dewasa. Hal itu justru baru diketahuinya kala ia hadir dalam perayaan ulang tahun Karmila, "Kau berulangtahun, ku tuang minuman ke dalam gelas. Pada saat itu ku tahu usiamu baru sebelas", demikian liriknya. Dalam kata yang agak kasar lirik ini bisa ditafsir sebagai "Karmila gadis yang paksa dewasa", "puber" kata orang Alor, atau "umet" kata orang Manggarai, atau dalam bahasa Kupang "mandidih"--- dan saya rasa, inilah gambaran yang pas untuk Karmila yang saya kenali. Namun saya membahasakannya secara lain, "Karmila adalah gadis yang dewasa sebelum waktunya", atau dalam kalimat Hardja, "Usia muda tak nampak padamu".

Setidaknya ada dua alasan mengapa kedewasaan Karmila yang sangat dini adalah gambaran yang pas untuk menggambarkan Karmila yang saya kenali.

Pertama, Karmila lahir sebelum waktu. Jadi Karmila itu adalah kakak perempuan saya, anak keenam dalam keluarga dan memiliki karakter yang agak berbeda dari kami semua. "Mengong" atau "Miring", demikian kami biasa menggambarkannya dalam rumah. Kendati menurutnya, dia yang paling cantik. Mama bercerita, semua kami lahir pas waktu (sembilan bulan lebih), tapi Karmila lahir dalam waktu enam bulan, bahasa medisnya prematur. Dulu mama berpikir Karmila akan bertumbuh secara tidak normal. Tapi tidak. Karmila dianugerahi ketangguhan dalam menanggung beban, kecekatan dalam bekerja, menjunjung kebersihan, dan "kemewahan".  

Saya ingat betul di suatu malam ketika saya hendak balik ke rumah, saya mendapati Karmila yang sudah babak belur karena dipukul. Wajahnya penuh darah dan lebam. Kala itu saya melihatnya sebagai seorang perempuan rapuh yang menangung luka bukan pada wajah tentunya, tapi batinnya. Namun bagaimanapun, saya keliru. Karmila sama sekali tidak meringis. Ia bahkan mengisahkan kronologis sampai ia dipukul seolah-olah dia adalah pahlawan yang babak belur karena mempertahankan sesuatu---sesuatu yang sampai saat ini saya tidak paham.  Satu hal yang saya tahu, dia kuat. Ketahanannya justru muncul karena sejak dia dilahirkan, Karmila sudah berjuang menantang maut. Hidup yang seolah tak ada harap, Karmila merengkuhnya dengan darah dan air mata.

 Kedua, Karmila adalah manusia yang sangat peka. Inilah kekhasannya. Air matanya mungkin yang paling mudah jatuh ketika dia merasa lara di wajah orang lain. Memang aneh, lara dan dukanya sendiri dibawa berlari, namun gampang meratapi nestapa orang lain. Tentang kepekaannya: dia suka menegur saya kalau wajah saya banyak komedo, dia sangat sensitif dengan penampilan, bau badan, dsb. Tapi lebih dari ini, Karmila pernah bercerita, sewaktu mama gila, dia menemani mama sepanjang perjalanan. Kala mama tertidur, Karmila yang kala itu masih sangat belia akan memerhatikan pola pernapasan mama. "Apakah mama baik-baik saja?" batinnya. Ini tidak lazim memang. Tapi saya melihatnya sebagai anugerah yang Karmila miliki.

Mungkin karena Karmila yang menemani Mama selama masa gilanya dulu, sampai sekarang, kendati mereka berdua sering bertengkar, harus saya akui, ikatan batin di antara Karmila dan mama melebihi kami semua. Mama bisa tahu kalau Karmila sedang dalam kesusahan, duka, nestapa, ketika Karmila merasa bahwa apa yang dibuatnya seolah-olah tak ada arti, mama bisa tahu. Itulah sebabnya, saya menjadi saksi, bagaimana mama mengalami kegelisahan seperti Ibu yang hendak bersalin ketika Karmila, anak yang dikandung selama enam bulan dalam rahimnya yang rapuh, meratap di kesunyian malam dan tak ada yang menemani.

Saya tidak ingin melanjutkan lagi. Saya hanya mau bilang di hari bahagianya, Karmila adalah anak yang terberkati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun