Mohon tunggu...
Petrus Pit Duka Karwayu
Petrus Pit Duka Karwayu Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Jalanan

Jika kamu tidak bisa membuat orang lain kagum dengan kepintaranmu, maka paling tidak kamu dapat membuat mereka bingung dengan kebodohanmu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Panggil Aku Kartini Saja

21 April 2022   17:55 Diperbarui: 21 April 2022   18:04 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.tamanbacakesiman.com

Delapan tahun lalu, di 2014, saya bertemu seorang gadis penjahit di biara susteran. Dia, kala itu, pemalu, bertutur sungkan, berlaku sederhana, berlangkah kikuk. Seperti gadis desa pada umumnya tiba di kota madya, kita gampang membedakan: tanpa make up, ugahari, berjarak pada yang asing--- kaum pria. Saya ingat, sewaktu berjalan ke tempat masing-masing usai perayaan misa tahbisan di Seminari Tinggi St. Mikael-Kupang. Saya banyak berujar, dan dia hanya terdiam sepanjang perjalanan. Kadang di sela-sela percakapan, saya mencuri-curi memandang senyumnya. Gadis pemalu dan polos itu hanya memandang pada langkah kaki, sesekali ke arah saya sekadar mencari keyakinan.  Di satu sisi suasana tenang, penuh harap, naif, dan tak berdosa. Di sisi lain "angin tajam kering, tanah semata gersang".

                Saya yakin ia mengingat momen itu, "Perjalanan Bersama", tanpa berhenti, tanpa terikat, tanpa mendarat, tanpa mendapat. Kami lalu berpisah dan tanpa bersua lagi sekitar sembilan bulanan. Kendati tersirat sedih, seperti Anwar dalam "Pemberian Tahu" (surat perpisahan dari sebuah kepergian), nada itu tegas memutus: "lni juga kutulis di kapal, di laut tidak bernama".

                Tepat di penghujung Desember 2015, kami kembali bersua di sebuah paroki pedesaan. Ia lebih anggun, rambutnya yang biasa dianyam atau disanggul bak perempuan ladang, kini dibiarkan terurai, ekspresi lain dari penegasan kebebasan. Kulitnya cerah dengan langkah tak lagi kikuk, laku perempuan terdidik, mandiri. Itu dilakukannya di kampung halamannya sendiri. Ia menafsir kata pulang, sebagai kembali ke asal, pedalaman, ke masa lalu, ke tempat ia pernah dicerca karena tanah air rohaninya di benua asing tak punya akar yang teguh untuk berdiri. Tapi namanya dunia privat adalah nasib seseorang, dan nasib adalah kesunyian masing-masing. Semula ia seperti Pramoedya merasa, "bahwa di dunia ini hanya aku-lah yang ada". Baru saat hidup di pembuangan ia tahu: "banyak manusia ada di dunia ini".

                Gadis itu kini punya wawasan luas, menolak ditundukan budaya dan patiarkal, dan kalau dia tersenyum, ia bukan lagi gadis yang kutemui sewaktu dalam perjalanan, namun senyum langka yang dimiliki orang-orang yang berani mengambil jalan sepi--- sendiri menanggung, sendiri menantang diri--- hidup di tempat ia dijerumuskan ke dalam rimba yang penuh ular, kuskus harus ditangkap untuk disantap, pohon harus ditebang, sebagian hutan dibakar. Kadang-kadang aliran deras menyeret tubuh dan nasib manusia.

                Baru di bulan yang lalu ia bercerita tentang ketidaksukaannya pada beberapa kelompok perempuan Indonesia yang merayakan hari Kartini dengan kebaya dan potong tumpeng, namun lupa akan bumi manusia dan segala persoalannya. Ia menginginkan komitmen publik pada yang lara dan yang membutuhkan terang pada kegelapan yang tak ada habisnya. Namun, kegelisahannya, seperti yang saya katakan, akan "menempuh jalan yang telah lusuh ditempuh orang". Lalu apakah kesunyian itu masih dapat didekati dengan harap?

            Sewaktu tulisan ini dibuat, saya berada dalam kenangan akan Rosa-ku yang sudah banyak kali saya ceritakan, dongengkan, kepada siapapun dan dimanapun. Rosa yang berarti mawar berduri yang indah beraroma semerbak, tidak sebaik artinya: ia penjudi, perokok, tak pandai berdandan dan memasak, malas berdoa, namun tangguh sebagai pengembara. Jadi ia bukan kelopaknya, tapi durinya--- dimaki, dikhianati, dan mati sendiri akibat diabetes.

            Kendati durinya rosa melukai, tapi melindungi. Dan satu yang banyak orang tidak tahu, Rosaku selalu berharap: mengharapkan anak angkatnya bisa sekolah, mengharapkan terang dalam gelapnya hubungan pernikahannya--- sekaligus ikhlas ketika sujudnya tidak membawa wujud. Dan karena Allah mencintainya dari siapapun, ia pun lekas menggambilnya dari dunia yang telah lelah menampung Rosa.

            Rosa lahir di tanggal 21 April sama seperti Kartini dan tangguh menghadap luka seperti gadis yang kujumpai dalam perjalanan. Tapi, Kartini dan Gadis itu kini diakui, dikagumi, dihormati; sedang Rosaku tanpa gambar, direndahkan, dilupakan. Tapi tak apa, Rosaku kini telah bersama Kartini di negri tanpa kenangan--- Kebakaan Ilahi--- tengah memotong tumpeng untuk hari kelahiran keduanya sampil mendoakan kita para peziarah yang hidup di dunia yang menampung kemegahan namun sekaligus rumput berduri. Kita tak pernah tahu.

Selamat Hari Kartini!

21 April 2022

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun