Mohon tunggu...
Petrus Pit Duka Karwayu
Petrus Pit Duka Karwayu Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Jalanan

Jika kamu tidak bisa membuat orang lain kagum dengan kepintaranmu, maka paling tidak kamu dapat membuat mereka bingung dengan kebodohanmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Punguk

26 Januari 2021   18:27 Diperbarui: 26 Januari 2021   18:38 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada suatu hari di Kerajaan Bulan, hiduplah seorang Raja dengan ketujuh putrinya yang cantik jelita. Biasanya kalau kerajaan tentu ada rakyat jelata, yang kendati tidak dihitung dalam kelas sosial, namun "lukisan" tentang mereka: dengan pegunungan, matahari, dan pohon kelapa yang ditiup angin--- menginspirasi setiap orang yang ingin merasakan nikmatnya saujana kehidupan, kebudayaan yang dirayakan, dan kepuasan lahiriah bagai petani-petani usai mencangkul pulang ke balik malam, menikmati chicha (sejenis tuak) lalu tidur dengan pulas--- bagaimanapun mereka tetap rakyat jelata.

Seperti di tanah Jawa yang memiliki dua stereotipe masyarakat, yang sama-sama Jawa namun punya karakter antropologi yang berbeda: masyarakat di pusat Keraton dan masyarakat pinggiran di luar Keraton. Logikanya, dari pusat ke pinggiran, kejawaannya mengalami degradasi, 'Jawa ngapak'.

Demikianpun di kerajaan Bulan. Gambarannya seperti beberapa denah candi, semisal Candi Plaosan Lor--- Kuil Buddhis di Jawa Tengah, Candi Sewu, maupun Prambanan. Ibarat di candi, tempat suci berada di tengah dikelilingi candi-candi kecil dan stupa, demikianpun tata kota pulau Jawa yang bergerak dari Keraton (pusat) menuju lingkaran paling luar mancanegara (daerah-daerah luar). 

Singkat cerita, hubungan antara mereka yang di pusat Kerajaan dan yang di pinggiran kerajaan tidak boleh ada titik temu horizontal (khususnya berlaku di zaman kerajaan Mataram).

Suatu ketika, seorang pemuda dari luar kerajaan (artinya rakyat jelata), diundang memainkan seruling di hari ulang tahun Raja. Pemuda itu bernama Punguk. 

Rupanya kehadiran Punguk dalam jamuan malam itu memikat banyak tamu. Tidak terkecuali Sinta, salah seorang putri Raja, yang sesekali secara sengaja mengamati, hingga mata Punguk pun jatuh tepat di arahnya. 

Punguk yang lekas tahu diri bahwa tidak boleh ada titik temu horizontal antara Dia dan keluarga kerajaan langsung menunduk dan mengalihkan perhatian, "Tidak, aku tidak boleh jatuh cinta padanya. Cinta itu seperti bendungan yang bila dilubangkan sedikit, semua tembok penahan akan rubuh."

Namun namanya jodoh, tidak bakal ke mana. Usai pertunjukan, Sinta menghampiri dan mengajak Punguk sekadar gobrol pribadi, di taman tengah. Tahu-tahu belum sempat ngobrol bibir Sinta sudah mendarat di pipi Punguk yang agak berminyak. Punguk yang kaget dipenuhi dengan kebahagiaan, segera tersenyum, namun menyimpan kegetiran, siapa tahu malam ini adalah yang terakhir baginya.

Dan memang benar. Kelakuan dua anak remaja itu diketahui oleh Raja, ayah Sinta. Raja murka. Malam itu juga ia menyuruh beberapa pasukan kerajaan mencari Punguk untuk dibunuh. Memang namanya titah Raja bukan panggang jauh dari api, namun yang langsung diamini. 

Para pasukan memburuh Punguk yang saat itu menenangkan dirinya dengan bercerita di tepian telaga Zaga Warna. Punguk yang sedang memandang dengan senyum wajah jelatanya di air telaga yang tenang, tiba-tiba dihantam dari belakang, dianiaya, ditelanjangi, dan ditikam hingga tewas. 

Para pembunuh yang menyadari kondisi Punguk yang sudah tak bernyawa langsung membuang mayatnya di telaga yang sampai hari ini tidak pernah ditemukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun