Mohon tunggu...
Petrus Pit Duka Karwayu
Petrus Pit Duka Karwayu Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Jalanan

Jika kamu tidak bisa membuat orang lain kagum dengan kepintaranmu, maka paling tidak kamu dapat membuat mereka bingung dengan kebodohanmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Cendrawasih Pemakan Kenari

13 Februari 2019   23:46 Diperbarui: 14 Februari 2019   08:10 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Dasar keturunan Papua! Pace, ko mau pi mana?" Sebas memperkeras suaranya.

"Cendrawasih pemakan kenari," ejeknya.

"Sial berita di media masa itu rupanya sudah terdengar oleh lingkungan kampus. Lebih-lebih Kupang sialan ini," gumam Lobong sambil menggerakkan bibirnya.

Seakan tak memedulikan hinaan Sebas yang tertawa sinis terhadapnya, ia langsung bergegas ke rumah dengan beat birunya. Teriakan Sebas: "cendrawasih pemakan kenari" pun terus tergiang di kepalanya.

Sungguhkah nenek moyang kami dari Papua? Namun untuk apa mereka berkelana ke Alor, bukankah Alor hanyalah pulau kecil di tengah serangkaian pulau di Nusa Cendana? Dapatkah pulau ini menjadi Kanaan yang hilang?

"Tidak. Kami bukan dari Papua. Bisa jadi orang Papualah yang berasal dari Alor," kesal Lobong sambil membanting pintu kamar yang bermotif naga itu.

 Perlahan ia mengambil surat kabar yang disembunyikan di bawah bantal dan membaca secara detail. Ia sedikit ragu, karena hasil riset itu hanya termuat komparatif fisik. Dan memang kelihatan mirip.

"Tidak, tidak mungkin. Bagaimana orang Papua dapat sampai ke Alor? Bukankah sewaktu terjadi pembekuan air laut, daerah Nusa Tenggara sajalah yang tidak mengalami peristiwa itu, sehingga dinamakan laut parsial?"

 "Masyarakat Alor sendiri umumnya bermata pencaharian sebagai nelayan. Aha, bukan Alor yang dari Papua, namun Papualah yang dari Alor. Tapi Mengapa kami sangat mirip?"   

"Ah parsetan dengan riset itu, toh lambat laun akan hilang. Namun aku benci terus dihina oleh Sebas," katanya.

"Tunggu sebentar. Bukankah guru sejarahku pernah mengatakan bahwa peradaban kulit kayu itu lebih tua. Papuakan hanya mengenakan rombe-rombe, anyaman rumput liar atau apalah. Yang jelas, itu lebih modern dari kulit kayu," yakin Lobong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun