Mohon tunggu...
Petrus Kanisius
Petrus Kanisius Mohon Tunggu... Wiraswasta - Belajar Menulis

Belajar menulis dan suka membaca. Saat ini bekerja di Yayasan Palung

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Belajar dari Cermin

20 Februari 2020   17:20 Diperbarui: 20 Februari 2020   17:23 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cermin. Foto dok. bobo.grid.id

Terkadang dalam tatanan kehidupan, saya atau kita dalam kehidupan sehari-hari selalu sibuk dengan diri kita sendiri untuk mengurusi (koreksi, komentar/mengata-ngatai, menilai) urusan orang lain dan seterusnya yang sejatinya urusan masing-masing.

Kita selalu melihat sudut pandang orang lain tetapi jarang untuk melihat diri sendiri. Kita sudah terlampau lupa dengan diri kita dan selalu ingat akan keburukan orang lain.  

Tak apa melihat orang lain asal tak mengoreksi, mengata-ngatai dan menilai yang kelewat batas, tetapi mungkinkah itu kita lakukan kepada diri orang lain?

Bercermin kuumpamakan sebagai belajar dari cermin. Bercermin berarti berani melihat, memandang diri kita seperti apa. Apakah kita melihat hanya dari satu sudut pandang atau melihat secara keseluruhan.

Celotehku, celotehmu terkadang menghiasi ruang dan waktu. Ruang-ruang hampa dan ruang publik. Aku terkadang tak terasa terlepas berkata berirama menjelma.   

Bayang-bayang semu membantu untuk menjawab itu, hanya kita masing-masing yang bisa melihat kiranya. Sama halnya dengan diri kita tak bisa menilai diri kita sendiri. Tetapi apalah artinya jika kita menilai, mengoreksi bahkan mengata-ngatai orang lain melebihi batas hingga tak puas akibat semakin tidak waras karena termakan hoaks yang menjamur di negeri ini.

Cerminmu dan cerminku mungkin berbeda, atau mungkin juga sama. Akan tetapi acap kali pandangan diri kita dan orang lain itu sesungguhnya menjadi bayang-bayangan dengan semakin seringnya kita mengatasnamakan diri kita yang paling... paling... dari orang lain dan cenderung tak menganggap orang lain itu ada (ingin paling sempurna atau merasa sempurna dari melebihi batas ambang batas).

Cermin tetaplah cermin. Apabila cermin diri dan cermin orang lain, memberi arti kata tentang rasa. Rasa kita terkadang memberi arti tak sama takarannya bagaimana itu rasa menjelama dan tidak jarang menjadi senjata ampuh dari tutur kata yang melumpuhkan setiap sendi-sendi nadi kehidupan kita saat ini.

Percaya atau tidak percaya, itu ada dalam diriku dan mungkin dirimu (kita semua). Kita menganggap diri tak tertandingi yang lain/ yang paling... paling... , padahal itu justru membuat kita terjerat dalam petaka yang merusak diri dan melukai orang lain (kata yang mencederai rasa).

Sesekali atau bahkan mungkin berkali-kali kita bolehlah mungkin kita bercermin. Bercermin tentang apa salah kita dan bagaimana merubah atau memperbaikinya, setidaknya itu yang bisa dilakukan jika kita ingin belajar bercermin.

Mungkin, bolehlah kiranya kita belajar dari bercermin. Dari cermin sejatinya kita diingatkan tentang rupa kita yang sesungguhnya. Rupa yang apa adanya, bisa melihat sisi-sisi kita mana yang harus ditata. Ku bercermin pada diriku yang acapkali merasa paling... tetapi sesungguhnya aku bukan siapa-siapa alias nol besar. Kumerasa itu adanya aku, yang cenderung selalu ingat akan keburukan orang lain tanpa mau melihat keburukan kusendiri. Ah.. dasar aku yang selalu merasa yang paling.. tetapi sekali lagi aku bukan siapa-siapa, jadi janganlah aku kiranya banyak gaya, tetapi bergayalah seuai irama dan apa adanya.

Petrus Kanisius

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun