Mohon tunggu...
Pirman Maolana
Pirman Maolana Mohon Tunggu... Pengkhayal

Nothing

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Transisi kepemimpinan : ujian bagi kinerja birokrasi dan pelayanan publik

21 Maret 2025   22:28 Diperbarui: 21 Maret 2025   22:28 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada Maret 2025, Kota Tasikmalaya resmi memasuki babak baru kepemimpinan dengan dilantiknya Wali Kota dan Wakil Wali Kota periode 2025--2030. Seremoni serah terima jabatan itu menandai berakhirnya satu rezim pemerintahan dan dimulainya pemerintahan baru yang membawa harapan sekaligus tantangan, terutama bagi jalannya roda birokrasi dan kualitas pelayanan publik.

Dalam perspektif administrasi negara, transisi kepemimpinan seharusnya tidak menimbulkan guncangan signifikan terhadap stabilitas pelayanan. Max Weber dalam teori birokrasi ideal-nya menegaskan bahwa birokrasi yang rasional harus mampu bekerja berdasarkan sistem dan aturan, bukan pada kehendak individu. Artinya, perubahan aktor politik di level kepala daerah tidak boleh menginterupsi fungsi birokrasi yang sejatinya bersifat netral dan berkelanjutan.

Namun, realitas birokrasi di level daerah---termasuk Kota Tasikmalaya---kerap memperlihatkan wajah lain: birokrasi yang terlalu personalistik dan top-down, di mana semangat kerja ASN cenderung fluktuatif mengikuti arah angin politik. Transisi kerap menimbulkan slowdown administratif. Pergantian kepala daerah sering diikuti rotasi pejabat struktural, revisi arah kebijakan, dan penyesuaian program yang kadang lebih didorong oleh kepentingan politik daripada efektivitas pelayanan.

Dalam teori kontinuitas pemerintahan, Rosenbloom (1989) menjelaskan bahwa birokrasi harus menjamin stabilitas sistem administrasi, terlepas dari pergantian kekuasaan. Jika tidak, maka akan timbul ketidakefisienan dan penurunan kualitas pelayanan publik. Inilah tantangan utama yang kini dihadapi Tasikmalaya pasca serah terima jabatan: menjaga ritme kerja birokrasi agar tidak melemah di masa penyesuaian.

Sebagai warga, kita berhak mempertanyakan: sejauh mana pemimpin baru mampu menjaga kontinuitas pelayanan publik yang sudah berjalan? Apakah ada jaminan bahwa program prioritas tidak sekadar berganti nama namun miskin substansi? Apakah rotasi ASN dilakukan dengan mengedepankan sistem merit atau justru menjadi ladang "balas budi" politik?

Momentum transisi ini seharusnya dimanfaatkan untuk menegaskan komitmen terhadap profesionalisme birokrasi. Pemerintah Kota harus berani memperkuat budaya meritokrasi, sesuai amanat Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang ASN, yang menekankan pentingnya sistem merit dalam pengelolaan SDM aparatur. Evaluasi menyeluruh terhadap kinerja pelayanan publik pasca-transisi pun perlu dilakukan secara transparan.

Harapan masyarakat Kota Tasikmalaya sederhana: kepemimpinan baru harus mampu mempercepat, bukan menghambat, peningkatan kualitas layanan. Birokrasi harus sigap, adaptif, dan tetap fokus pada tugas utamanya: melayani. Transisi adalah ujian, dan hanya birokrasi yang tangguh yang mampu menjalaninya tanpa kehilangan arah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun