Mohon tunggu...
Subhan Riyadi
Subhan Riyadi Mohon Tunggu... Abdi Negara Citizen Jurnalis

Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan (Pramoedya Ananta Toer). Portal berita: mitraindonesia.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Topeng Monyet Tergerus Zaman, Kok Masih Beraksi

16 Januari 2022   20:12 Diperbarui: 16 Januari 2022   20:19 1812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keberadaan topeng monyet mulai tergerus  zaman, namun kok masih ada beratraksi menghibur masyarakat, entahlah yang jelas ia datang untuk mendapatkan uang di masa Pandemi Covid-19.

Topeng monyet merupakan hiburan tersendiri di era tahun 80-an. Sering kali kita  mendengar kata "sarimin pergi ke pasar" yang dilantunkan sang pawang atau pemilik. Kata-kata tersebut mengingatkan kita akan sebuah hiburan rakyat yang populer di eranya.

Seiring perjalanan waktu keberadaan atraksi topeng monyet mulai tergerus zaman dan semakin banyak orang yang menentangnya, dikarenakan mengeksploitasi hewan.

Memang kalau dahulu kita perhatikan secara seksama, atraksi topeng monyet ini mengandung unsur kekerasan terhadap hewan, pasalnya selain lehernya terikat rantai, monyet ini dipaksa beraksi tak ubahnya sirkus spektakuler, menghibur banyak orang khususnya anak-anak.

Kesenian topeng monyet ini baru saya saksikan langsung, setelah tetangga memanggil seorang pemilik topeng monyet keliling perumahan.

Atraksi Topeng Monyet, Naik Motor GP (Dokpri)
Atraksi Topeng Monyet, Naik Motor GP (Dokpri)

Pemilik monyet yang dimanfaatkan buat "atraksi" monyet ini pada umumnya berjalan berkeliling kompleks perumahan dari tempat yang satu ke tempat yang lain di daerah kawasan perumahan BPS 1 Makassar. Sabtu (15/01/2022). Alhamdulillah di Makassar pemiliknya tidak lagi berjalan kaki, tapi sudah mengendarai kendaraan bermotor.

Tak lama setelah dipanggil, suara musik gamelan mengiringi atraksi topeng monyet yang digelar di halaman sebuah rumah tetangga. Dengan lincahnya sang monyet berlari-larian, melompat, meliuk-liuk beratraksi mengikuti instruksi sang pemilik yang mendampinginya sembari menarik-narik tali pengikat leher monyet, agar beratraksi mengikuti instruksi pemiliknya.

Pawang bersama menarik Monyetnya agar beraksi (dokpri)
Pawang bersama menarik Monyetnya agar beraksi (dokpri)

Memang menghibur sih, tapi miris juga melihat monyet itu tersiksa oleh rantai yang menjerat lehernya, ini tentu sangat menyakitkan bagi sang hewan. Apalagi leher manusia.

Atraksi yang diperagakan yakni, naik scooter mainan, naik sepeda motor mainan mengenakan helm, tak ubahnya pembalap motor profesional, lalu atraksi mikul jualan, dorong gerobak, lalu tarian mengenakan topeng dan berjungkir balik. 

Uniknya, oleh pemiliknya, monyet ini dikasih pakaian olahraga sepakbola, menariknya lagi monyet itu mengenakan kostum bola bernomor punggung 11 bertuliskan Rubben. Dimana Rubben adalah pemain asal negeri kincir angin Belanda yang pernah bermain di Chelsea dan Bayern Munchen.

Suara musik dari speaker diputar kencang untuk menarik perhatian anak-anak agar hadir menyaksikan dan memberikan uang ala kadarnya setelahnya. Topeng monyet ini paling digemari anak-anak. Oleh karena itu kedatangan topeng monyet selalu disambut gembira oleh anak-anak. 

Nah, kesempatan itupun saya gunakan untuk mendokumentasi kehadiran topeng monyet yang keberadaannya sudah dilarang pemerintah ini.

Membawa kaleng, monyet ini menanti saweran dari penonton (dokpri).
Membawa kaleng, monyet ini menanti saweran dari penonton (dokpri).

Kegembiraan anak-anak ini menjadi rezeki tersendiri bagi pemilik topeng monyet. Uang saweran dari warga merupakan sumber nafkahnya untuk menghidupi dirinya dan perbaikan gizi monyet itu sendiri.

Perkembangan Revolusi industri 4.0 menuju era 5.0 masyarakat kota semakin cerdas dan peduli akan keberlangsungan hidup satwa ini. Kondisi ini menggeser keberadaan topeng monyet. Bahkan saat ini semakin berkurang minat anak-anak untuk menyaksikan atraksi topeng monyet tergadaikan permainan gawai hingga media sosial. Akan tetapi eksistensinya patut diacungi jempol.

Larangan eksistensi atraksi topeng monyet memang cukup beralasan. Setidaknya, dari berita yang beredar ada empat poin terkait larangan pertujukkan topeng monyet.

Pertama, pertunjukan tersebut topeng monyet melanggar Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem serta Undang-Undang tentang pertenakan dan kesehatan hewan.

Larangan kedua, pertunjukan topeng monyet merupakan bentuk kekerasan terhadap hewan.

Ketiga, atraksi ini tidak menerapkan etika kesehatan dan kesejahteraan satwa, berpotensi menyiksa dan menyakiti satwa.

Keempat, pertunjukan tersebut bisa menularkan penyakit dari hewan ke manusia dan sebaliknya (zoonosis).

Toh demikian, topeng monyet kok masih beraksi di Makassar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun