Mohon tunggu...
Subhan Riyadi
Subhan Riyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Abdi Negara Citizen Jurnalis

Stop! Rasialisme anti minoritas apa pun harus tak terjadi lagi di Indonesia. Sungguh suatu aib yang memalukan. Dalam lebih setengah abad dan ber-Pancasila, bisa terjadi kebiadaban ini kalau bukan karena hipokrisi pada kekuasaan (Pramoedya Ananta Toer). Portal berita: publiksulsel.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ada Apa dengan 200 Mubaligh Rilisan Kemenag?

23 Mei 2018   03:45 Diperbarui: 23 Mei 2018   07:58 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mubaligh (sumber gambar: www.cnnindonesia.com)

Mubaligh juga manusia punya rasa punya hati, tidak bisa diklasifikasikan seperti buku-buku usang di perpustakaan. Mereka butuh penghasilan layak demi anak istri. Apabila Kemenag memberlakukan daftar nama 200 Mubaligh, dari data tersebut belum tentu semuanya mumpuni, sudah barang tentu ada nilai plus dan minusnya. Dimata Alloh semua sama, asal Mubaligh tersebut dalam membawakan syiarnya tidak mengandung unsur SARA, serta tidak memantik ujaran kebencian syah-syah saja diundang untuk berceramah, sekalipun Mubaligh tersebut hanya mengayuh sepeda, tentu banyak manfaatnya ketimbang mudhoratnya.

Jaman sekarang mengundang mubaligh kondang, masjid-masjid dengan anggaran minim akan berfikir 1000 kali. Lain halnya dengan masjid megah nan mewah sudah barang tentu donaturnya banyak, saldo kasnya jutaan rupiah, tidak akan menjadi masalah mengundang mubaligh bertarif fantastis. Disini saya tidak akan menyebut nama siapa mubaligh atau ustad yang bertarif mahal ataupun bayaran standar masyarakat marjinal. Publik sudah pasti tahulah siapa saja mubaligh tersebut.

Apabila ada daftar rekomendasi mubaligh, Kemenag RI seharusnya juga merilis nama pendeta, biksu dan sejenisnya yang berkategori REKOMENDASI. Apakah Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama Republik Indonesia sudah tidak lagi percaya akan keberadaan ulama di negeri ini, padahal mereka menebar kebaikan agar umat tidak tersesat dalam kenistaan.

Memang diakui, ada beberapa ustad yang dalam ceramahnya mendapatkan fasilitas mahal, lantaran popularitasnya menanjak dengan tarif mahal, sementara di lain pihak ada ulama yang naik sepeda bahkan jalan kaki hingga naik ojek sama-sama menularkan ilmu kebaikan, kok malah muncul rilis 200 nama mubaligh yang boleh ceramah dan tidak boleh ceramah. Ada apa dengan mubaligh di tanah air saat ini, dulu-dulu tidak ada pendiskritan seperti ini.

Rilisnya 200 mubaligh yang direkomendasikan Kementerian Agama Republik Indonesia membingungkan masyarakat, uniknya lagi rilis tersebut bersifat "sementara".

Alasan Menteri Agama katanya banyak menerima masukan dari beberapa ormas-ormas yang merujuk mana yang recomended dan not recomended, tetapi saat talk show dibeberapa stasiun TV beliau terkesan menghindar. Ormas yang mana pak Menteri Agama, mbok ya disebutkan ormas tersebut, agar masyarakat btidak bertanya-tanya. Allahu'alam

Ini tentu saja mengundang polemik di tengah gencarnya kampanye Undang-Undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Kementerian Agama sebagai salah satu Badan Publik memiliki kewajiban untuk menyediakan, melayani, mengumumkan, mendokumentasikan dan menyimpan informasi publik yang akurat secara benar dan tidak menyesatkan sesuai pasal 9 UU KIP. Nama-nama ini bisa bertambah bahkan berkurang suatu saat nanti. Kok, tarik ulur seperti layang-layang.

Segmentasi dari rilis 200 mubaligh tersebut harus memenuhi 3 (tiga) kriteria, yaitu;  kompetensi keilmuan agama mumpuni, memiliki reputasi dan pengalaman yang baik, dan berkomitmen kebangsaan yang tinggi. Dari ketiga kriteria tadi, mubaligh-mubaligh yang namanya tidak tercantum saya rasa memiliki semua.  Jangan sampai nama-nama tersebut menjadi tunggangan beberapa elit politik untuk mendulang suara.

Alasan lain viralnya daftar nama 200 mubaligh yang direkomendasikan Kemenag RI bertujuan agar instansi Pemerintah atau Lembaga dan masjid-masjid tidak mengundang penceramah yang dinilai menyebarkan paham radikal, membaca kekhawatiran ini membuat telinga saya merasa geli.

Jangan sampai gara-gara daftar tersebut para mubaligh dan mubalighah terpecah belah, berseberangan, silang sengketa hanya lantaran dinilai lebih arif, lebih bijak, lebih alim, lebih saleh, akhirnya merugikan dakwah yang lapangan penghasilannya kian kompetitif. Pertanyaannya, ada apa dengan daftar 200 mubaligh rekomendasi Kementerian Agama Republik Indonesia ini?

Makassar, 23 Mei 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun