Mohon tunggu...
Pipit Indah Oktavia
Pipit Indah Oktavia Mohon Tunggu... Fresh Graduate dari Fakultas Hukum Universitas Jember

Menulis bukan karena tahu segalanya, tapi karena ingin belajar lebih banyak. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Jember yang percaya bahwa perspektif bisa tumbuh dari cerita sederhana. Di Kompasiana, saya ingin berbagi, bukan menggurui.

Selanjutnya

Tutup

Money

Kenapa Gaji Cuma Lewat? Mungkin Ini Jawabannya

1 Juli 2025   14:25 Diperbarui: 1 Juli 2025   14:25 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : CNBC Indonesia

Gajian baru seminggu, saldo sudah tinggal angka ganjil. Rasanya baru kemarin isi dompet sempat bikin senyum sumringah, sekarang cuma bisa nyengir sambil ngelus dada. Mungkin kita pernah (atau sering) berada di fase itu: bertanya-tanya, kenapa sih gaji cuma numpang lewat? Padahal kerja udah capek, lembur udah sering, tapi akhir bulan tetap aja harus puasa keuangan. Dan yang lebih nyesek, kadang kita bahkan gak tahu ke mana perginya.

Fenomena "gaji cuma lewat" sebenarnya bukan cuma masalah nominal. Banyak orang berpikir gaji kecil penyebab utama dompet selalu tipis, padahal gaji besar pun bisa habis kalau tidak punya kendali yang baik terhadap pengeluaran. Ini bukan sekadar soal berapa yang kita terima, tapi bagaimana cara kita memperlakukan uang itu sejak masuk ke rekening sampai keluar tanpa jejak. Banyak dari kita terjebak dalam pola pengeluaran yang impulsif, tidak sadar, dan bahkan tidak terencana sama sekali.

Salah satu penyebab utama gaji cepat menguap adalah gaya hidup yang melebihi penghasilan. Istilah kerennya lifestyle inflation  makin naik penghasilan, makin naik pula standar hidup. Dulu cukup ngopi di rumah, sekarang harus nongkrong di kafe minimal dua kali seminggu. Dulu belanja seperlunya, sekarang tiap buka e-commerce, tangan gatal scroll flash sale. Semua kebutuhan mendadak jadi keinginan, dan semua keinginan terasa seperti kebutuhan. Padahal, kenyataannya hanya ego kita yang ikut naik seiring penghasilan.

Hal lain yang sering luput adalah tidak punya sistem keuangan pribadi. Banyak orang tidak mencatat pengeluaran sama sekali. Uang datang, langsung mengalir begitu saja tanpa rencana. Tidak ada anggaran, tidak ada tabungan, tidak ada dana darurat. Semua berdasarkan "feeling" dan "kira-kira masih cukup". Padahal, menurut teori pengelolaan keuangan pribadi, prinsip 50-30-20 (50% kebutuhan, 30% keinginan, 20% tabungan/investasi) bisa jadi acuan awal yang sederhana tapi efektif. Kita tidak perlu jadi akuntan untuk bisa atur uang, cukup disiplin dan jujur sama diri sendiri.

Jangan lupakan juga faktor utang konsumtif. Cicilan paylater, kartu kredit, dan pinjaman online sering jadi penyelamat instan yang ujung-ujungnya jadi jerat panjang. Awalnya niat beli barang diskon, akhirnya malah harus bayar bunga berbulan-bulan. Menurut data OJK (2024), lebih dari 20% generasi muda Indonesia punya utang aktif di lebih dari satu platform pinjaman digital. Ini membuktikan bahwa kita masih mudah tergoda oleh akses mudah, tanpa mempertimbangkan dampaknya jangka panjang terhadap arus kas pribadi.

Selain itu, faktor mental dan psikologis juga memengaruhi. Banyak orang merasa harus "rewarding yourself" setiap gajian sebagai pelampiasan dari stres kerja. Nggak salah sih, karena uang memang untuk dinikmati. Tapi ketika setiap stres dibayar dengan belanja impulsif, ini bisa menciptakan kebiasaan konsumsi yang tidak sehat. Uang habis bukan karena kebutuhan, tapi karena pelarian emosional yang tidak disadari.

Lalu, bagaimana solusinya? Pertama, kita perlu punya kesadaran finansial, bukan cuma penghasilan. Gaji besar tidak menjamin stabilitas keuangan kalau manajemennya buruk. Mulailah dengan mencatat pengeluaran harian. Ini kelihatannya sepele, tapi efeknya besar banget. Dari situ kita bisa tahu ke mana larinya uang kita setiap bulan. Kedua, buat anggaran dan tujuan finansial yang jelas. Mau menabung buat dana darurat? Liburan? Pendidikan? Semuanya harus punya posnya sendiri. Jangan gabungkan semuanya dalam satu rekening karena akan cepat larut begitu saja.

Ketiga, biasakan menyisihkan, bukan menyisakan. Prinsip klasik pay yourself first masih relevan sampai hari ini. Begitu gajian, langsung sisihkan untuk tabungan atau investasi, baru sisanya digunakan untuk pengeluaran. Dan terakhir, belajarlah menahan diri. Tidak semua diskon harus dikejar, tidak semua tren harus diikuti, dan tidak semua keinginan harus dipenuhi sekarang juga.

Gaji memang bukan segalanya, tapi kalau terus-terusan cuma jadi tamu semalam di rekening, mungkin sudah saatnya kita berdamai dan berdiskusi lebih serius dengan dompet sendiri. Karena pada akhirnya, bukan gaji kita yang terlalu kecil  tapi kadang, gaya hidup dan manajemen kitalah yang terlalu besar.

Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun