Mohon tunggu...
Pipit Indah Oktavia
Pipit Indah Oktavia Mohon Tunggu... Fresh Graduate dari Fakultas Hukum Universitas Jember

Menulis bukan karena tahu segalanya, tapi karena ingin belajar lebih banyak. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Jember yang percaya bahwa perspektif bisa tumbuh dari cerita sederhana. Di Kompasiana, saya ingin berbagi, bukan menggurui.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Baterai 5% Tapi Pikiran 100%

29 Juni 2025   14:23 Diperbarui: 29 Juni 2025   16:12 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : saibumi.com

Ada kalanya kita duduk di pojokan kafe, nungguin colokan kosong, sambil sesekali ngelirik layar HP yang udah merah 5%, tapi pikiran justru muter kenceng. Notifikasi masuk, kerjaan belum kelar, tab browser belum ditutup, dan pikiran? Full charge. Rasanya ironis ya, gadget lowbat tapi otak justru overheat.

Fenomena ini sebenarnya udah jadi realita sehari-hari kita. Kita hidup dalam dunia yang nggak pernah benar-benar diam. Bangun tidur, buka HP. Sebelum tidur, scroll TikTok. Di antara dua meeting pun, kita sempat-sempatin buka WhatsApp atau cek email. Gadget kita selalu siap sedia, tapi yang sering lupa istirahat justru otaknya.

Baterai punya indikator, tapi kepala kita nggak. Kita baru sadar capek ketika udah sakit kepala atau susah tidur. Kita bisa tahu HP tinggal 5%, tapi kita nggak sadar kalau fokus kita tinggal 2%. Kadang malah, kita nyalahin gadget yang lowbat padahal yang lelah sebenernya ya diri kita sendiri.

Gadget memang ngebantu banyak hal. Dia jadi alat produktivitas, hiburan, dan komunikasi. Tapi ketika semuanya ada dalam satu genggaman, batas antara kerja dan istirahat jadi kabur. Kita mulai ngerasa bersalah kalau "nggak balas chat kerjaan cepat", atau "nggak update story padahal lagi healing". Jadinya, meskipun gadget istirahat, pikiran tetap on terus.

Menurut studi dari Harvard Business Review, overload informasi dari teknologi bisa menurunkan kualitas fokus dan produktivitas. Kita multitasking secara berlebihan, dan tanpa sadar membuat otak kita kayak RAM yang penuh lemot, gampang hang, dan sering kehilangan arah. Bayangin kalau HP dipaksa buka 10 aplikasi berat sekaligus, pasti ngedrop. Nah, otak kita pun begitu.

Solusinya bukan ninggalin teknologi. Tapi ngatur ulang cara kita menggunakannya. Misalnya, mulai nyusun waktu screen time dengan sadar, pakai mode fokus atau jangan bales chat kerjaan di jam istirahat, dan kasih jeda buat pikiran istirahat dari layar. Kita juga bisa manfaatin teknologi yang sehat: pakai aplikasi manajemen waktu, pengingat break, atau bahkan mode grayscale biar nggak terlalu lama mantengin layar.

Karena, kenyataannya, gadget bisa diisi ulang dalam satu jam. Tapi pikiran kita? Butuh waktu lebih lama untuk pulih. Kalau terus-terusan dipaksa, bukan cuma lowbat, tapi bisa burnout. Jadi kalau HP kamu udah bunyi tanda baterai merah, anggap aja itu juga pengingat buat kamu sendiri: "eh, kamu juga butuh charge, lho."

Kita bisa kok tetap produktif tanpa harus terus online. Bisa kok tetap update tanpa harus terus hadir di semua platform. Yang penting, tahu kapan harus nyala, dan kapan harus dimatikan sejenak baik gadget maupun pikiran.

Referensi :

Harvard Business Review, "The Cost of Interrupted Work: More Speed and Stress

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun