Di luar rumah, kita hidup dalam masyarakat yang sarat norma dan ekspektasi. Ada tekanan untuk tampil baik, sopan, dan berperilaku sesuai aturan. Hal ini memaksa kita untuk menahan diri, berpikir dua kali sebelum berkata atau bertindak.
Sebaliknya, di rumah tidak ada "penilaian sosial" eksternal. Akibatnya, kontrol diri menjadi longgar.
Bukti Psikologis:Â Penelitian oleh Gervais & Norenzayan (2012) dalam Social Psychological and Personality Science menyatakan bahwa kesadaran akan pengawasan sosial meningkatkan kepatuhan terhadap norma dan mendorong perilaku prososial.
4. Keluarga, Tempat Latihan Emosi atau Pelampiasan Emosi?
Hubungan keluarga seharusnya menjadi tempat berlatih empati, kesabaran, dan kasih sayang. Namun dalam praktiknya, sering kali justru menjadi tempat pelampiasan frustrasi akibat tekanan hidup. Ini terjadi karena minimnya kesadaran emosional (emotional awareness)Â dan lemahnya komunikasi asertif dalam keluarga.
Sayangnya, kita lupa bahwa kerusakan relasi yang paling dalam justru terjadi dalam lingkungan keluarga yang tidak sehat secara emosional.
5. Kebiasaan yang Tidak Disadari
Banyak perilaku kasar dalam keluarga dimulai dari hal kecil: menyela saat bicara, bicara ketus, tidak mendengarkan, atau tidak mengucapkan terima kasih. Lama kelamaan, itu menjadi kebiasaan yang dianggap normal.
Studi dari University of California, Berkeley (2014) menunjukkan bahwa kebiasaan kecil yang tidak sopan dalam rumah tangga bisa menurunkan kualitas hubungan secara signifikan, terutama jika dibiarkan terus-menerus.
6. Gagasan Segar: Mempraktikkan Kesopanan di Rumah
Jika kita bisa bersikap sopan kepada orang asing - yang mungkin hanya hadir dalam hidup kita sesekali - mengapa tidak bisa kepada keluarga yang membersamai setiap hari?