Oleh: Pipit Indah Oktavia
Pernahkah kamu merasa bahwa batasan dunia nyata terlalu sempit untuk menampung imajinasi, ambisi, atau bahkan pelarian dari kenyataan? Di tengah dunia yang semakin terkoneksi secara digital, konsep metaverse hadir bukan hanya sebagai teknologi masa depan, tetapi sebagai alternatif realitas yang menjanjikan. Namun, benarkah metaverse adalah jawaban atas keterbatasan dunia nyata? Ataukah ini justru membuka kotak pandora baru dalam kehidupan manusia?
Apa Itu Metaverse?
Secara sederhana, metaverse adalah dunia virtual tiga dimensi yang imersif dan terus berlangsung (persistent), di mana individu dapat berinteraksi satu sama lain dan dengan lingkungan digital menggunakan avatar. Konsep ini bukan hal baru diperkenalkan dalam novel Snow Crash karya Neal Stephenson (1992), dan dipopulerkan kembali lewat Ready Player One karya Ernest Cline yang difilmkan Steven Spielberg.
Namun secara teknologi, metaverse mulai dipandang serius sejak perusahaan besar seperti Meta (Facebook), Microsoft, hingga Tencent menginvestasikan triliunan dolar untuk membangun infrastruktur digital masa depan ini.
Mengapa Dunia Nyata Tak Lagi Cukup?
Ada beberapa alasan mengapa sebagian orang merasa dunia nyata tak lagi mampu memenuhi kebutuhan mereka:
1. Realitas yang makin kompleks dan penuh tekanan.
Dunia fisik menghadirkan tantangan seperti krisis iklim, pandemi, ketidakstabilan ekonomi, hingga isolasi sosial. Di sisi lain, dunia virtual menawarkan "pelarian" yang terlihat lebih menyenangkan dan terkendali.
2. Keterbatasan fisik dan geografis.
Dalam metaverse, kamu bisa bekerja di kantor virtual di New York, menghadiri konser di Tokyo, dan nongkrong dengan teman di Roma - tanpa meninggalkan rumah.
3. Ekspresi diri yang lebih luas.
Banyak orang merasa lebih bebas mengekspresikan diri dalam bentuk avatar. Identitas gender, budaya, hingga tubuh digital bisa disesuaikan sesuai kehendak, tanpa norma sosial dunia nyata.
Apa Saja Peluang Nyata di Metaverse?
Metaverse bukan sekadar game. Dalam perkembangannya, ini menjadi ruang kolaboratif baru untuk berbagai sektor:
Pendidikan: Universitas ternama mulai mengembangkan kelas virtual. Mahasiswa bisa masuk laboratorium simulasi 3D, berdiskusi lintas negara, bahkan praktik bedah secara virtual.
Ekonomi: Konsep play-to-earn game, NFT marketplace, hingga real estate virtual telah menciptakan sumber penghasilan baru. Properti digital di platform seperti Decentraland atau The Sandbox dijual dengan harga miliaran rupiah.
Kerja dan Kolaborasi: Microsoft melalui Mesh dan Meta melalui Horizon Workrooms mengembangkan kantor virtual yang memungkinkan interaksi lebih imersif dibanding Zoom atau Teams.
Namun, Apakah Ini Jawaban atau Bahaya Baru?
Sebagus apapun metaverse, perlu diakui bahwa ada potensi risiko besar:
1. Ketimpangan Akses Teknologi
Tidak semua orang memiliki akses ke perangkat VR/AR canggih dan jaringan internet stabil. Ini bisa memperlebar jurang digital antara kaya dan miskin.
2. Privasi dan Keamanan Data
Semakin dalam interaksi digital, semakin besar risiko penyalahgunaan data pribadi. Meta bahkan pernah dikritik karena kebocoran data pengguna.
3. Kesehatan Mental dan Disosiasi Realitas
Ketika orang lebih nyaman di dunia virtual daripada dunia nyata, potensi gangguan mental seperti depresi, isolasi, hingga delusi bisa meningkat. Studi dari Stanford University (Bailenson, 2021) menunjukkan bahwa sesi VR yang terlalu lama dapat memengaruhi persepsi ruang dan waktu di dunia nyata.
4. Kehilangan Nilai-Nilai Kemanusiaan
Keintiman, empati, dan kebermaknaan seringkali muncul dari sentuhan langsung dan pengalaman hidup nyata. Apakah interaksi antar-avatar dapat menggantikannya?
Metaverse adalah Masa Depan yang Perlu Dikawal
Metaverse bukanlah akhir dari dunia nyata, melainkan babak baru yang menantang. Ia bisa menjadi ruang tumbuh dan eksplorasi yang luar biasa - asal digunakan secara etis, inklusif, dan berkesadaran. Dunia virtual seharusnya memperkaya realitas, bukan menggantikannya.
Yang perlu kita pertanyakan bukan hanya "Apa yang bisa dilakukan di metaverse?", tapi juga "Apa yang seharusnya tidak dilakukan?"
Metaverse adalah cerminan dari keinginan manusia untuk menembus batas. Namun seperti halnya teknologi lain, semuanya tergantung pada cara kita menggunakannya. Ketika dunia nyata terasa sempit, bukan berarti kita harus sepenuhnya kabur ke dunia virtual. Mungkin jawabannya ada di tengah - menjaga keseimbangan antara kehidupan digital dan kehidupan nyata, antara teknologi dan nilai kemanusiaan.
Referensi
Stephenson, Neal. Snow Crash, 1992.
Cline, Ernest. Ready Player One, 2011.
Bailenson, J. (2021). The Behavioral Effects of Virtual Reality, Stanford University.
We Are Social x Hootsuite (2024). Digital Global Overview Report.
Meta, Microsoft, The Sandbox, Decentraland - official websites & investor reports.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI