"Sinikan kakimu itu." Ibu menarik kakiku dan memasangkan kaos kaki tebal milik Bapak.
"Firman bisa pakai sendiri, Ma." Aku cepat-cepat menarik kakiku. Bagaimana mungkin aku yang sudah dewasa ini diperlakukan seperti bayi.
"Sinikan Mamak bilang." Ya begitulah Ibuku. Keras kepala.
"Kakimu ini sampai keriput terendam banjir sepanjang jalan tadi. Besok kau tak perlu ikut Mamak jualan keliling lagi." Entah kapan Ibuku ini sadar bahwa aku sudah tumbuh menjadi lelaki dewasa yang sanggup menggantikan tugas Bapak menjaganya.
"Ma, tak apa kaki Firman keriput dan mengkerut. Asal surga Firman tak terendam banjir dan  terkikis aspal lagi." Aku meraih tangan perempuan yang melahirkanku itu.
"Kau ini,,, Pergilah wudhu lalu tidur." Ibuku mengalihkan pembicaraan kami.
Sampai sedewasa ini, Ibu selalu memastikan aku tidur tak larut malam. Kecuali karena keperluan belajar. Ibu selalu tahu agenda sekolahku bahkan sampai hampir menyelesaikan kuliah seperti sekarang.
Sahur pagi ini hanya ada nasi dan air putih. Â Seperti biasa, selesai sholat subuh, kami selalu berdzikir dan tilawah Qur'an. Hal sederhana yang sudah dibiasakan Bapak mungkin sejak aku masih dalam kandungan Ibuku, sebelum akhirnya kami sibuk dengan kegiatan kami masing-masing sepanjang hari.
"Ma, hari ini Firman jualan sendiri, ya." Aku mengingatkan Ibu pada rencana kami kemarin.
"Iya, Mamak masih ingat. Sekarang kau kawanilah dulu Mamak belanja ke pajak."
Pagi ini aku lebih bersemangat. Walau aspal di kota Medan masih basah karena sisa hujan kemarin, tapi udara pagi ini terasa lebih sejuk. Ibu membawaku berbelanja ke kios-kios langganannya.