Mohon tunggu...
Philips Anakristo
Philips Anakristo Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Konselor pendidikan

Mahasiswa STTI Efrata Tut Wuri Handayani Student Today Leader Tomorrow

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pemuridan Berbasis Komunitas adalah Alternatif Pola Ibadah di Masa Pandemi Covid-19

7 Mei 2021   23:41 Diperbarui: 17 Oktober 2021   14:53 1251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

PEMURIDAN BERBASIS KOMUNITAS ADALAH ALTERNATIF POLA IBADAH DI MASA PANDEMI COVID 19

OLEH:

PHILIPUS KRISTIANTO

PROGRAM STUDI MAGISTER TEOLOGI (M.Th)

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI INJILI EFRATA

SIDOARJO-JATIM-2021

 

PENDAHULUAN

                Apakah lantas masa pandemi ini dapat menjadi “interupsi Ilahi” yang dibutuhkan tersebut? Melihat berbagai fenomena pelayanan gereja selama ini dan temuan-temuan dari berbagai riset, dalam skala tertentu, pandemi ini dapat dipandang sebagai semacam “inte-rupsi Ilahi” yang membangunkan gereja dari ambiguitas panjangnya. Penghentian “paksa” dan tiba-tiba dari berbagai kegiatan dan ben-tuk pelayanan, mau tidak mau, membuat para praktisi pelayanan gereja berhenti sejenak dari rutinitas dan melihat ulang apa yang telah dikerjakan, atau apa yang telah terjadi, selama ini. Jika “interupsi Ilahi” pandemi ini dires-pons dengan tepat oleh gereja-gereja, maka akan muncul pembaharuan yang hakiki dalam kehidupan berjemaat. Ada beberapa isu dalam konteks riil pelayanan gereja yang tercermin dalam berbagai temuan penelitian, yang perlu dipikirkan ulang dan direspons secara tepat oleh para pemimpin gereja.

                Pertama, masa pandemi menunjukkan masih minimnya konsep teodisi yang utuh dan proporsional. Secara masif, para teolog dan pemikir Kristen menerbitkan beberapa buku terutama untuk menjawab problematika teologis seputar kuasa Allah dalam realitas pandemi, sebut saja Coronavirus and Christ dari pendeta John Piper, Where is God in a Coronavirus World? dari apologis dan ilmuwan John C. Lennox, dan God and the Pandemic dari teolog biblika N. T. Wright. Buku-buku ini, meskipun ditulis dalam disiplin ilmu dan pendekatan yang berlainan, tetapi seperti ingin menyuarakan pesan yang seragam: bahwa Allah berdaulat dan tetap mengasihi manusia sekali pun di tengah wabah yang tidak terpahami. Agaknya penerbitan judul-judul ini merupakan sebuah indikasi tentang lang-gengnya perdebatan tentang topik teodisi. Para pemimpin gereja perlu memperhatikan hal ini dan jika memungkinkan, memasukkan pesan tentang teodisi yang utuh dan tepat di dalam khotbah, pengajaran, persekutuan, bahkan pendampingan pastoral.

                Menariknya, kebutuhan tentang teodisi yang tepat ini juga bukan hanya dapat dilihat dari penerbitan judul-judul di atas, tetapi juga berdasarkan pengamatan empiris khususnya dalam konteks Indonesia. Dalam paparan yang diberikannya pada Rembuknas STT SAAT (Mei 2020), Daniel Ronda, ketua sinode Gereja Kemah Injil Indonesia, menun-jukkan bahwa ada “krisis teologis” yang di-hadapi oleh masyarakat Kristen pedesaan. Krisis teologis tersebut antara lain: pemahaman bahwa pandemi ini terjadi sebagai hukuman Tuhan atas dosa manusia, pandemi ini merupakan tanda-tanda akhir zaman dan    mendekatnya kedatangan Kristus kedua kali, serta adanya keengganan untuk memindahkan ibadah dari gereja ke rumah dengan alasan umat harus lebih takut akan Allah daripada takut tertular virus. Ronda menganalisis bahwa problematika teologis ini terjadi akibat kemunculan ajaran-ajaran yang keliru khusus-nya tentang teodisi tetapi marak tersebar di media massa dan media sosial.

                Kedua, masa pandemi menunjukkan bahwa pelayanan gereja masih sangat terfokus dan bergantung pada peran rohaniwan sebagai tenaga profesional dan belum melibatkan seluruh anggota tubuh Kristus sebagai komunitas pelayan. Pada masa pandemi, terlihat banyak sekali rohaniwan mencoba untuk membuat konten daring berupa khotbah, seminar, sapaan gembala, lagu pujian, dan berbagai bentuk lain. Akan tetapi, penelitian dari BRC justru menunjukkan bahwa jemaat justru merasa tidak mengalami engagement dari pendeta atau gembala jemaat setempat. Hal ini disebabkan misalnya oleh perubahan intensitas pelayanan dari tatap muka menjadi pembatasan fisik, adanya gembala atau pendeta yang tidak mengetahui kondisi spiritualitas atau pertum-buhan iman jemaatnya, serta jemaat meng-anggap bahwa pemberian renungan pastoral (secara digital) yang umum dilakukan oleh

 para rohaniwan tidak serta-merta berarti sapaan personal kepadanya.Tanda-tanda ini sejatinya dapat dibaca dari dua sisi. Di satu sisi, tentu saja tanda-tanda ini memperslihatkan kreativitas dan inovasi para rohaniwan yang tetap setia melayani dan berkarya di tengah krisis. Akan tetapi, di sisi lain, tanda-tanda ini juga menunjukkan kecenderungan jemaat untuk “bergantung” dan terpusat pada pelayanan rohaniwan semata-mata, dan secara bersamaan mengang-gap diri mereka sebagai “konsumen” yang harus terus-menerus “disuapi” dan seolah-olah “tidak bisa hidup” tanpa pelayanan roha-niwan. Padahal, sejatinya pertumbuhan rohani dan pelayanan kepada Allah merupakan tanggung jawab seluruh anggota tubuh Kristus, bukan hanya rohaniwan (bdk. Ef. 4:11-16).

              Catatan Ronda dalam Rembuknas STT SAAT juga menegaskan hal ini. Ia mengatakan, dalam konteks pedesaan yang tidak semuanya memiliki tenaga rohaniwan yang cukup, sangat diperlukan pemberdayaan pelayan awam khu-susnya dalam berkhotbah dan memuridkan. Sebagai kesimpulan, Michael Teng dalam Rembuknas STT SAAT mendorong gereja-gereja untuk membuka ruang sebesar-besar-nya bagi keterlibatan pelayan awam dengan cara peralihan dari pelayanan yang berpusat pada rohaniwan menjadi berpusat pada rohaniwan dan pemimpin awam; peralihan dari pelayanan rohaniwan sebagai pelaksana tunggal menjadi sebagai pemerlengkap jemaat Allah; dan peralihan dari peran rohaniwan sebagai gembala bagi seluruh umat menjadi gembala bagi para anggota tim penggembala.

              Ketiga, masa pandemi menunjukkan bahwa pelayanan gereja masih secara sempit terfokus hanya pada dimensi ibadah dan belum atau tidak holistik menyentuh bidang-bidang lain yang juga penting. Hal ini terlihat dari fokus gereja di paruh awal masa pandemi yang agaknya terkuras sepenuhnya pada penyelenggaraan dan penyediaan konten ibadah online di gereja masing-masing, baik secara tayangan langsung (live streaming) maupun tayangan yang sudah direkam sebelumnya (pre-recorded streaming). Gereja-gereja tampaknya berupaya sekuat tenaga untuk “bersaing” menghadirkan konten ibadah daring yang lebih baik. Hal ini sedikit banyak disebabkan oleh kekhawatiran bahwa jemaatnya akan lebih memilih mengikuti ibadah daring di gereja lain. Survei kuantitatif yang dilakukan oleh Sinode GKI Wilayah Jawa Barat menunjukkan bahwa 80% jemaat mengikuti ibadah dan pelayanan daring di gerejanya, namun di saat bersamaan 60% jemaat mengikuti ibadah daring di kanal atau situs gereja lain.

              Upaya untuk “memenangkan” persaingan viewers di tengah dunia ibadah digital ini juga ditangkap dalam data Survei Nasional STT SAAT Mei 2020 yang dipresentasikan oleh Teng dalam Rembuknas STT SAAT. Teng menyimpulkan bahwa di awal masa pandemi perhatian utama gereja-gereja ada pada pelaksanaan ibadah, sementara hal-hal lainnya dilakukan dengan agak gagap dan tidak ter-pikirkan. Fenomena ini, menurut Teng, terjadi karena sejak sebelum pandemi pun fokus perhatian gereja-gereja memang lebih banyak tertuju pada ibadah Minggu, dan kurang pada aspek-aspek penting lainnya dalam pelayanan gerejawi. Tambahan pula, berdasarkan pem-bacaan Yohanes Adrie Hartopo terhadap penelitian pengalaman ibadah jemaat dalam beribadah daring khususnya dalam konteks gereja di perkotaan, upaya pembuatan konten

                ibadah daring adalah hal yang tidak mudah, bahkan dapat dikatakan sangat menguras energi, waktu, tenaga, dan sumber daya baik manusia maupun material. Te ntu saja pelayanan ibadah bukan tidak penting, tetapi realita di masa sebelum dan selama pandemic menunjukkan adanya perhatian yang tidak seimbang, terlalu berfokus pada pelayanan ibadah dan mengabaikan bidang-bidang lain yang sama pentingnya. Penelitian dari BRC menunjukkan setidaknya empat elemen pelayanan selain ibadah yang terabaikan atau kurang mendapat perhatian yang cukup, yaitu : keuangan, sekolah minggu, pelayanan keluarga dan penginjilan. Hal ini patut dipikirkan secara serius karena gereja yang sehat tidak hanya perlu memikirkan aspek ibadah, tetapi juga aspek-aspek lain seperti persekutuan, pengajaran, dan kesaksian. Di samping itu ada pula beragam pelayanan yang berbasis kebutuhan (needs based ministry) seperti misalnya pelayanan kelompok usia tertentu dalam kelompok kecil, pelayanan konseling, pelayanan di ruang sosial dan pelayanan pemberdayaan ekonomi jemaat yang juga patut mendapat perhatian gereja.

                Keempat, masa pandemik menunjukkan adanya kesenjangan (gap) yang serius antara generasi tua dan muda dalam gereja. Kesenjangan antara generasi tua (senior) dan muda (junior) ini terjadi bukan hanya di kalangan jemaat awam, tetapi mula-mula dari kalangan rohaniawan. Lagi-lagi penelitian BRC memperlihatkan temuan menarik. Dilansir bahwa kebanyakan ibadah utama yang ditayangkan secara online dilayani oleh hamba-hamba Tuhan senior, sehingga hamba Tuhan muda atau yang masih junior merasa tidak dibutuhkan dan tidak mendapat kesempatan. Terlepas dari faktor-faktor internal generasi masing-masing, realita ini menunjukkan ada masalah regenerasi kepemimpinan dan pelayanan gereja. Padahal, dalam disertasinya yang meneliti tentang revitalisasi gereja pada empat gereja local dari empat sinode berbeda di empat kota besar di Indonesia, Teng menunjukkan salah satu faktor penyebab revitalisasi adalah adanya tim kepemimpinan bersifat intergenerasi yang kuat dan harmonis. Penemuan ini juga diteguhkan kembali dalam Rembuknas STT SAAT dalam panel diskusi tentang pelayanan anak muda, didapati bahwa kaum muda gereja injili menghadapi kesulitan ibadah, salah satunya karena konsumsi dalam ibadah umum dirasa terlalu berat. Hal ini menunjukkan belum ada, atau kurangnya pemahaman dan praktik pelayanan-pelayanan bersifat intergenerasi di dalam gereja.

                Kelima, masa pandemik menunjukkan bahwa gereja-gereja pada umumnya tidak siap berhadapan dengan kemajuan teknologi. Temuan ini dilaporkan oleh BRC dan Yakub Tri Handoko dalam catatan keynote speaker mengenai konteks gereja berbasis pelayanan digital. Hasil penelitian BRC menunjukkan bahwa tidak semua gereja bisa mengadakan ibadah online, karena ada yang tidak mempunyai infrastruktur yang memadai, atau ada pula yang tidak mengetahui caranya padahal infrastruktur yang dimiliki cukup mendukung. Selain itu, dalam penelitian lain yang dilakukan BRC secara kualitatif terhadap berbagai gereja di perkotaan Indonesia dari tiga aliran berbeda (mainstream, injili dan Pentakosta/Karismatik), didapati bahwa seba-gian besar gereja tidak mempunyai bidang atau komisi khusus digital, dan kalau pun ada, pada umumnya baru dibentuk pada masa pandemi COVID-19. Handoko dalam Rem-buknas STT SAAT meringkaskan fenomena ini dengan dua poin, yaitu bahwa banyak gere-ja masih enggan dan tergopoh-gopoh meng-ikuti perkembangan teknologi; serta banyak hamba Tuhan dan gereja injili yang belum serius menggarap pelayanan digital.

               Beberapa temuan di atas menunjukkan bahwa masa pandemi menjadi cermin yang merefleksikan wajah gereja sesungguhnya. Tentu saja poin-poin ini hanya dipaparkan secara garis besar dan umum. Masih ada poin-poin spesifik lain yang tidak terangkum. Tetapi, dari kelima poin di atas, agaknya tidak berlebihan untuk menyimpulkan bahwa observasi yang telah dimiliki tentang pelayanan gereja selama ini dapat terbukti benar. Adanya ambiguitas visi teologis dalam pelayanan yang berakibat juga pada ambiguitas praksis pelayanan. Pertanya-an selanjutnya yang perlu digumulkan adalah: bagaimana kemudian gereja merevitalisasi pelayanannya di dalam masa kenormalan baru bahkan sesudah masa pandemi?

PEMBAHASAN 

            Tulisan ini membahas apa yang harus dilakukan gereja pasca pandemi Covid-19 ditengah kondisi yang tidak menentu kedepan, sehingga isu Covid-19 tidak dibahas secara detail. Tidak dapat dipungkiri bahwa pandemi Covid-19 membawa tantangan baru bagi gereja dan pada akhirnya gereja berjibaku dalam kondisi normal yang baru. New normal adalah perubahan perilaku dengan sebuah kebiasaan yg baru untuk menjalankan aktifitas normal namun ditambah protokol kesehatan guna mencegah penularan Covid-19. Gereja bisa kembali difungsikan untuk melayani jemaat di fase kenormalan baru. Hal ini ditegaskan dalam surat Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Kementerian agama tertanggal 27 Mei 2020 tentang Revitalisasi fungsi rumah Ibadah dalam Tata kehidupan Baru. Dimana Gereja dapat menjalankan ibadah dengan pembatasan jumlah jemaat dan pembatasan bentuk kegiatan dengan mengikuti protokol kesehatan, serta mendorong jemaat agar menerapkan pola hidup bersih. Hal tersebut dilakukan karena gereja sadar akan kehadiran dirinya sebagai realitas sosial. Kesadaran Gereja sebagai realitas sosial artinya gereja juga berusaha memahami dan peka terhadap permasalahan masyarakat yang terjadi seperti yang dijelaskan diatas.

              Pada awal lahirnya kekristenan, iman orang percaya juga diperhadapkan dengan penderitaan oleh penganiayaan. Wabah pandemi Covid-19 bukanlah wabah yang pertama, sepanjang sejarah sudah pernah terjadi Wabah Antonine abad ke-2 dan telah membunuh seperempat Kekaisaran Romawi, umat Kristiani kala itu merawat orang sakit dan menawarkan model spiritual dan akhirnya agama Kristen tersebar. Epidemi yang lebih terkenal adalah Wabah Siprianus. Namanya berasal dari seorang uskup diduga sebagai penyakit yang berhubungan dengan Ebola, Wabah Siprianus membantu memicu krisis abad ketiga di peradaban Romawi. Namun akhirnya membuat ledakan pertumbuhan kekristenan karena ketika orang Kristen bersaksi tentang berita Injil bukan hanya melalui perkataan tapi juga dari tindakan peduli dan cara menghayati hidup yang bergantung kepada Tuhan.

              Krisis pandemi tidak hanya dipandang sebagai bahaya, pada saat bersamaan juga harus dilihat menjadi sebuah kesempatan dalam misio dei untuk bersaksi lebih banyak tentang Kristus yang memberikan kekuatan, ketenangan. Misio dei dipahami sebagai kehadiran Allah dan keikutsertaan Allah dengan segala sesuatu yang terjadi didunia ini. Kehadiran Allah diwujudkan dalam Yesus Kristus untuk keslamatan, misi ini diteruskan mengutus gereja untuk hadir ditengah dunia.

KONSEP AMANAT AGUNG 

              Matius 28:16-20 dikenal sebagai Amanat Agung disebut agung karena amanat tersebut dipandang sebagai perintah terakhir Tuhan Yesus sebelum naik ke surga kepada murid-murid-Nya. Latar belakang peristiwa di dalam Matius 28:18-20 ini adalah peristiwa setelah kebangkitan-Nya dimana Yesus menampakan diri kepada para murid dan menjelaskan misi penyelamatan-Nya atas seluruh dunia. Yesus memberi Amanat Agung kepada para murid, yang bersifat universal, bukan lokal dan juga rasial tetapi melintas atas segala bangsa. Ini menekankan tentang identitas iman Kristen yang bukan hanya bersifat nasional atau rasial, tetapi mencakup secara keseluruhan. Markus 16:14-18, Lukas 24:44-49 dan Yohanes 20:21 merupakan nas-nas sejajar dengan Matius 28:18-20 yang digolongkan sebagai amanat agung Tuhan, akan dapat dilihat kesamaan hakiki yang menegaskan bahwa berita keselamatan harus disampaikan sampai ke seluruh dunia.

PEMURIDAN ADALAH GEREJA MINI

              Sejak semula Allah telah menjadikan keluarga sebagai mitra-Nya dalam mengerjakan misi kerajaan Allah di dunia, hal terebut terlihat ketika Allah merancang keluarga di muka bumi ini sebagai satu-satunya lembaga yang dibentuk untuk bekerjasama dengan Allah dalam usaha pengelolaan dan pelestarian apa yang telah Allah ciptakan (Kejadian 1:28). Selanjutnya di dalam Alkitab juga dijelaskan secara terus menerus bahwa Allah memakai keluarga-keluarga untuk menggenapi rencana-Nya dari jaman Perjanjian Lama sampai dengan jaman Perjanjian Baru. Sebagai lembaga bentukan Allah, keluarga diciptakan sebagai pusat pemuridan, artinya dalam pelaksanaannya keluarga memiliki tangggungjawab untuk memuridkan

             Keluarga adalah tempat manusia pertama kali berintegrasi. Sebagai bagian terdekat, sudah seharusnya mandat menjadikan murid Kristus pertama kali harus disharingkan dalam keluarga, karena akan menyedihkan jika salah satu anggota keluarga berada dalam kesusahan, apalagi jika tidak menerima anugerah keselamatan. Menanamkan iman dan memuridkan anak sejak dini sangat menentukan masa depan diri anak, keluarga, gereja, masyarakat dan dunia. Pengalaman dalam keluarga, interaksi, relasi yang baik ditanamkan pada anak akan menghasilkan individu yang baik dalam keluarga. Dalam hal ini orang tua telah melaksanakan misi Kristus. Dalam sebuah talkshow, Hendro yang juga adalah tangga menghayati imannya ditengah keluarga dengan makin mencintai istri dan anak, menjadikan keluarga damai, bahagia, bertanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarga, peduli terhadap lingkungan, ini telah menjalankan tugas kerasulan sebagai orang beriman.

            Tugas ini memang tidak mudah, karena penghayatan iman akan Yesus dan tugas pewartaanya akan berhadapan langsung dengan kehidupan realita, kesulitan dan tantangan yang dihadapi seperti kesulitan ekonomi, berhadapan dengan sistem yang sudah ada yang belum tentu sesuai dengan iman yang dimiliki, tetapi justru disinilah medan juang yang membuktikan keselamatan yang dimiliki. Disinilah pendeta atau gereja membekali umatnya dan memampukan umat Tuhan menjadi gereja yang menyebar atau gereja mini yang setiap hari berada ditengah-tengah masyarakat, berbeda dengan para Pendeta yang setiap hari bertugas digereja. Pemuridan dalam keluarga akan menciptakan keluarga menjadi pusat ibadah, bukan gereja. Dalam hal inilah mengapa pemuridan dalam keluarga dipandang sangat penting, sebab tanpa pemuridan dalam keluarga maka gereja tidak akan pernah berhasil mengutus keluarga-keluarga yang berkualitas untuk mengerjakan tugas Amanat Agung di luar tembok gereja.

                Pemuridan Keluarga Sebagai Gereja Mini dalam Akselerasi Amanat Agung Inti dari tugas amanat agung adalah pemuridan dan penginijilan. Gereja adalah mandataris kerajaan Allah dalam Amanat Agung. Itu perintah yang harus dikerjakan oleh gereja, bukan sebuah pilihan yang sewaktu-waktu dapat dikerjakan atau tidak. Gereja bukanlah pula berbicara gedungnya, tetapi gereja adalah orang percaya yang ada didalamnya. Penekanan pada masa new normal bukan lagi kumpul digedung tetapi pada dicipleship, yakni memperlengkapi jemaat. Matius 28:19-20a ini merupakan sebuah aktivitas. Alkitab versi Indonesia terjemahan baru mencatat ada empat kata perintah; pergilah, jadikanlah, baptislah dan ajarlah. Kata-kata perintah itu seolah berdiri sejajar, dan memiliki kekuatan imperatif yang sama. Namun di dalam kajian sintektikalnya ditemukan bahwa tidak semua kata itu menggunakan bentuk imperatif. Dari keempat kata itu, hanya satu yang menggunakan bentuk imperatifnya yaitu “ Jadikanlah semua bangsa muridku dengan demikian dapat dipahami bahwa kata pergi itu merupakan kelaziman yang melekat di dalam diri orang Kristen. Tanpa diperintahkan pun, sudah dengan sendirinya pergi memberitakan Injil. Ini berarti pemberitaan Injil itu merupakan gaya hidup orang percaya. Kapan dan di manapun orang percaya berada di situ akan selalu terjadi proses pemberitaan Injil.

              Terdapat empat Langkah yang diajarkan Tuhan Yesus dalam menyelamatkan dunia. Pertama, dunia ini dapat diselamatkan karena murid-murid Kristus telah pergi memberitakan Injil, mereka bersaksi tentang kerajaan Allah yang telah datang dan sudah dekat. Kedua, orang-orang yang telah menerima Injil akan dibaptis sebagai langkah penyataan imannya kepada Kristus. Kata ajarlah dida,skontej (didaskontes) menggunakan bentuk grammar partisipel, present, aktif. bidang kehidupan yakni kewajiban baik kepada Allah maupun kepada manusia. Setiap hal yang diperintahkan dan diinginkan oleh Kristus, Barus juga menuliskan hal sama, pemuridan sebagai pemberitaan ke-Tuhan-an Yesus atas segala sesuatu berarti lingkup pemuridan harus menjangkau semua aspek dan dimensi alam semesta. Paling sedikit pemuridan gereja harus menyentuh aspek diri sendiri, keluarga, masyarakat (society) dan alam ciptaan (creation). Ringkasnya, pemuridan mencakup semua wilayah kehidupan manusia karena merupakan wujud kelihatan kuasa universal Yesus. Jadi diajarkan melakukan perintah Allah, dalam hal ini dibaptis sebagai langkah pertobatan. Ketiga, mereka yang telah menerima Kristus dan telah dibaptiskan harus dimuridkan melalui pengajaran-pengajaran yang benar tentang iman Kristen, sehingga mereka akan menjadi pengikut Kristus yang militan. Keempat, mereka yang telah dimuridkan dan telah diperlengkapi diutus, murid adalah komunitas yang menghidupkan ajaran Yesus melalui dan didalam hidupnya sehingga murid lain menjadi serupa dengan Kristus. Hal yang senada Widjaja dan rekan menyerukan penginjilan adalah memberitakan injil melalui sikap hidup individu setiap orang percaya dengan bersaksi, membagi kabar baik, berbagi hidup tentang Kristus kepada setiap orang.

            Dengan memperhatikan pentingnya pemuridan bagi pelaksanaan Amanat Agung, gereja dipandang penting untuk bersinergi dengan keluarga-keluarga Kristen yang selama ini berada dalam pelayanannya. Gereja tidak mampu berjalan sendiri dalam melaksanakan tugas Amanat Agung yang harus dikerjakan tersebut, gereja membutuhkan mitra sebagai kepanjangan tangan dalam mengerjakan misi tersebut, yaitu keluarga-keluarga Kristen yang telah diperlengkapi dan dimuridkan oleh gereja. Keluarga sebagai mitra gereja adalah gereja mini yang hidup dan berdampak. Untuk dapat menjangkau jiwa yang lebih luas lagi, keluarga Kristen yang telah menjadi murid Kristus menjadi pioner bagi gereja dalam bermisi. Keluarga Kristen yang telah dimuridkan dan diperlengkapi menjadi gereja yang hidup dan bergerak di tengah-tengah untuk membawa terang Kristus. Oleh karena itu perlu diperhatikan dan ditindaklanjuti betapa urgensinya pemuridan keluarga sebagai gereja mini untuk menjalankan misi Allah di bumi.

 KESIMPULAN

             Gereja sebagai orang ditebus Yesus Kristus perlu memanisfestasikan kehadiran Allah ditengan dunia. Kehadiran umat Kristen ditengah dunia bukan menjadi umat Kristen yang normatif tetapi hadir menjadi umat Kristen yang serupa Kristus, meskipun tidak mudah tapi merupakan panggilan. Keberadaan umat Tuhan didalam dunia secara berbeda, sehingga dunia itupun menjadi berbeda, karena ada individu dan komunitas yang menghidupi didalam dan demi Yesus Kristus. Situasi pandemi melatih keluarga kristen menjadi pribadi yang lebih baik, keluarga adalah gereja mini yang diutus kedalam dunia Yohanes 17:18 untuk menjadikan murid Tuhan Yesus Matius 28:19-20. Bagaimana gereja ditengah pandemi hendaknya harus kembali kepada esensi semula, dimana gereja dipangil untuk untuk menjalankan misi Allah, (missio dei ditengah-tengah dunia). Jadi krisis sehebat apapun seharusnya tidak bisa menghentikan gereja atau berhenti bergerak.

             Tiap umat Tuhan bisa menjalankan misi Allah sesuai kapasitasnya. Jika dia seorang penulis memberitakan Injil melalui tulisan, jika seorang penyanyi memberitakan Injil lewat nyanyiannya, jika seorang youtuber harus berita Injil lewat channel-nya. Mungkin bagi segelintir orang, ini bukan hal yang baru karena sudah terbiasa melakukannya. Namun banyak orang Kristen yang tidak memahami panggilannya, oleh karenanya gereja membantu anggota gereja memahami dan memperlengkapi (Efesus 4:12) melalui pemuridan, yang dimulai dari keluarga. Sehingga tiap ayah sebagai imam dapat membimbing spritualitas seluruh anggota keluarga dan anggota keluarga kepada orang lain di lingkungannya, sehingga setiap keluarga Kristen menemukan jati diri apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab sebagai murid Tuhan Yesus dan apa yang bisa dilakukan dengan kehidupan yang dijalani sesuai dengan kapasitas melalui cara, dan strategi sendiri dengan memahami aspek-aspek iman dan panggilan sebagai murid Tuhan Yesus. Memuridkan orang lain memiliki arti tidak lain menjadikan mereka yang kita muridkan menjadi seperti kita yang sedang mengikut Yesus. Akhirnya, dengan modal pemuridan yang dilakukan didalam setiap keluarga Kristen akan mengaktifkan seluruh anggota keluarga untuk melakukan Amanat Agung Tuhan Yesus sehingga menjadikan semua bangsa murid Tuhan akan terjadi.

DAFTAR PUSTAKA 

Teng, Michael dan Carmia Margaret “Sketsa Pelayanan Gereja Sebelum, Selama dan Sesudah Masa Pandemi COVID-19 “Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan 19, no. 2 (2020): 201–213. Sekolah Tinggi Teologi SAAT, Malang

Evimalinda, Rita, Eko Prasetyo dan Agustinus Sihombing “Urgensi Pemuridan Keluarga Sebagai Gereja Mini Dalam Akselerasi Amanat Agung di Tengah Pandemi Covid-19 “.Prodi PAK, STT Real Batam Prodi Teologi, STT Real Batam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun