Mohon tunggu...
Philip Manurung
Philip Manurung Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

lahir di Medan, belajar ke Jawa, melayani Sulawesi, mendidik Sumatera; orang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Film Disensor agar Iman Tak Kendor? Cheerios!

21 September 2023   06:00 Diperbarui: 21 September 2023   06:21 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada tahun 1947, Donal Bebek bereksperimen membuat bom atom. Percobaannya berujung malapetaka sehingga ribuan penduduk menderita efek radiasi: kepala mereka menjadi plontos. Dasar bebek mata duitan, ia justru melihat peluang emas untuk menghasilkan uang dari insiden tersebut. Singkat cerita, si Bebek menghitung uang dengan girang, hasil dari menjual obat penumbuh rambut bagi orang-orang yang mengantre. Begitulah cerita komik saku yang sempat diedarkan sebagai hadiah bagi konsumen produk sereal, Cherios. Tidak lama, semua komik itu ditarik dari peredaran. Yang menyemprit tidak lain perusahaan Walt Disney sendiri!

Berpuluh-puluh tahun dan ribuan kilometer kemudian, sebuah cerita lain disemprit. Pada Selasa (12/9) silam, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Ace Hasan Syadzily, meminta film His Only Son ditarik dari peredaran. Tindakan itu diusulkan karena menurutnya, film tersebut tidak sesuai dengan cerita Nabi Ibrahim versi Alquran. Ia cemas, film itu bisa menyesatkan orang Islam.(1)

Pada hari yang sama, perwakilan Pemuda Katolik, Fransiska Silolongan, langsung menyanggah. Ia menilai usulan sensor itu adalah wujud arogansi dari pihak yang ingin mendominasi ruang publik berdasarkan kuasa mayoritas.(2) Anggota DPR RI fraksi PKB Luqman Hakim mencoba menengahi riak tersebut (13/9). Ia menegosiasikan agar bioskop atau platform yang menayangkan film tersebut memberi semacam woro-woro: "Film ini tidak sesuai dengan sejarah dan ajaran Islam mengenai keluarga Nabi Ibrahim."(3) Sepertinya ubun-ubun kebhinekaan telah plontos di negeri ini akibat radiasi penyensoran.

Deretan film tidak lulus sensor di negeri ini telah cukup panjang. Coba saja search "Daftar film yang dilarang atau dicekal di Indonesia" di Google. Antreannya dipastikan akan terus bertambah. Pasal langganannya ada tiga: mengandung unsur kekerasan, adegan syur, atau ideologi tabu.

Padahal, film His Only Son terinspirasi dari fakta historis dalam Perjanjian Lama: Abraham (atau Ibrahim) mendapat mandat Tuhan untuk mengorbankan putranya, Ishak, di Gunung Moria. Jelas fokusnya bukan soal anak yang tidak diakui [atau "anak yang tertukar" seperti judul sinetron], melainkan iman yang diakui dan teruji. Maka, bila mana film tersebut mau disensor, itu sungguh bikin geleng-geleng kepala. Pertama, karena nama yang mengusulkannya pernah mencuat dalam sidang suap bansos Covid-19(4). Dan, kedua, itu sama saja mengaitkan agama Kristen dengan kekerasan atau pornografi.

Mengapa komik Donal Bebek dianggap berbahaya sehingga dihentikan peredarannya? Jawabannya, karena perusahaan atau pemerintah setempat, cemas. Orang-orang bule pada zaman itu masih trauma dengan bom atom dan malapetaka radiasinya. Sensor adalah instrumen sekaligus institusi dari kecemasan tersebut.

Bila ditempatkan dalam konteks dan tujuan yang tepat, kecemasan (anxiety) dapat dibenarkan. Namun, ilmu kejiwaan menggugah kesadaran kita: sering kali kecemasan manusia berasal dari pikiran yang tidak rasional (irrational thought). "Particularly unusual or irrational thoughts are typically a symptom of chronic or severe anxiety", begitu kata sebuah sumber.(5) Menurut logika sang wakil rakyat, film harus disensor agar iman umat tidak kendor. What a joke!

Anda mungkin mengingat masa ketika buku-buku tertentu dilarang, album ben tertentu dilumat, majalah dibredel, patung dirusak, atau karya sastra dibakar. Di permukaan, alasan penyensoran tersebut sepertinya berkaitan dengan unsur-unsur kekerasan atau pornografi. Sejatinya, alasannya bersifat ideologis.

Pihak-pihak tertentu alergi terhadap pikiran dan pandangan yang berbeda. Kebenaran yang diyakini oleh pihak lain seakan racun yang mengancam hajat hidup mereka. Untuk itu, kemajemukan adalah ide yang merepotkan, menjengkelkan, atau bahkan harus dibasmi. "Pluralisme sudah mati" dan orang-orang mabuk agama telah membunuhnya!

Atmosfer religius di dalam negeri kita rupanya menumbuhkan tipe golongan seperti itu. Kaum radikalis agama mengukur kebenaran dengan seberapa kuat radiasi yang dapat dipancarkan kepada penganut agama lain. Daya radiasi itu dianggap berbanding lurus dengan jumlah praktikan agama. Hasilnya, kubu mayoritas selalu merasa lebih berkuasa. Ironisnya, sejarah membuktikan, makin besar daya dan kekuasaan seseorang, makin takut ia kehilangan kuasa. Orang paling paranoid di dunia mungkin adalah Superman. "Adakah kriptonit di sakumu?"

Pemabuk agama sesekali perlu mendengarkan musik untuk meredakan kecemasannya. Cobalah mendengar "Paranoid Android" dari Radiohead. Track ke-2 dari album OK Computer itu merepresentasikan Marvin the Paranoid Android dalam seri fiksi-ilmiah The Hitchhiker's Guide to the Galaxy. Marvin adalah sebuah robot yang selalu depresi karena daya kreasinya yang seakan tanpa batas tersia-siakan dengan hanya melakukan kegiatan-kegiatan yang sepele dan membosankan. Sesalnya, "Here I am with a brain the size of a planet and they ask me to pick up a piece of paper."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun