Mohon tunggu...
Philip Manurung
Philip Manurung Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

lahir di Medan, belajar ke Jawa, melayani Sulawesi, mendidik Sumatera; orang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Merawat "Anak Perdamaian" dari Papua

20 Agustus 2019   11:55 Diperbarui: 21 Agustus 2019   17:53 745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi "Anak Perdamaian". Disalin dari : vancechristie.com

Tidak dipungkiri, kerusuhan yang terjadi di Manokwari, Papua Barat, pada Senin (19/8/2019) lalu merupakan kado pahit bagi HUT Republik ini. Ratusan bangunan dan fasilitas umum mengalami kerusakan berat. Teriakan dan umpatan-umpatan meresahkan sekujur negeri.

Kerusakan infrastruktur bukanlah kerugian terbesar yang diderita bangsa ini. 

Yang paling disesalkan adalah kemunduran dalam pemulihan kemelekatan (attachment) kita dengan saudara-saudara di kawasan paling Timur tersebut.

Padahal, selama 5 tahun terakhir, Presiden Jokowi telah mencurahkan segenap perhatiannya untuk merangkul wilayah yang bergabung dengan Republik Indonesia sejak tahun 1963 itu. Mahakarya yang sedang dilukis beliau seolah tercoreng oleh sebuah insiden yang tidak semestinya.

Sebagaimana diketahui, kerusuhan di Manokwari, dan gelombang protes di berbagai kota, merupakan buntut dari perlakuan ormas dan aparat keamanan yang berlebihan (over-acting) ketika mengepung asrama mahasiswa Papua di Surabaya. 

Para duta provinsi itu diteror secara fisik dan verbal, sarat dengan diksi rasisme.

Berlebihan? Jelas. Tidak adil? Boleh dikatakan begitu. Sebab, alasan massa dan aparat keamanan "menggeruduk" asrama mahasiswa didasarkan pada berita yang simpang-siur. (Baca artikel Kompas di sini.) 

Sungguh ironis, bila dipikir-pikir, institusi yang kerap mewanti-wanti masyarakat agar tidak jatuh dalam perangkap berita hoaks, justru terkecoh dengan informasi keliru.

Dapatkah Kota Injil Mengampuni?
Menanggapi kerusuhan tersebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta masyarakat agar saling memaafkan. (Baca di sini.) 

Sebagai kota Injil, saya yakin masyarakat Manokwari, dapat memenuhi imbauan Presiden tersebut. 

Jauh sebelum Presiden meminta, mereka sudah lama melafalkan perintah Tuhan Yesus untuk mengampuni "orang yang bersalah kepada kami" sesuai Doa Bapa Kami.

Lagipula, bukankah Gubernur Jawa Timur, Khofifah, sudah menyampaikan permintaan maafnya kepada gubernur dan masyarakat Papua Barat? Kalau begitu, demonstrasi-demonstrasi lanjutan untuk mengekspresikan dominasi sektoral tidak dapat dibenarkan.

Dalam pemahaman psikologis konflik secara general, ungkapan permohonan maaf dapat membuka pintu rekonsiliasi. Namun, dalam kultur masyarakat yang berbeda, permohonan maaf saja tidak cukup. Konten itu harus disampaikan dengan konteks yang tepat.

Mari saya menjelaskan maksud saya. Ini bukan konsep yang alien.

Dalam kultur modern, misalnya, kita berjabat tangan ketika menyapa orang yang belum dikenal. Namun, pada Suku Dani, tuan rumah mengucapkan "Wah" berulang kali ketika menyambut seorang tamu.

Demikian pula, rekonsiliasi diekspresikan dengan cara yang berbeda dalam masyarakat Papua. Dalam hal ini, para misionaris Kristen memiliki pemahaman yang unggul. Untuk itu, kita perlu belajar dari mereka.

Rekonsiliasi Melalui Anak Perdamaian
Pada tahun 1962, sesudah menyelesaikan kursus linguistik, Don Richardson dan istrinya, Carol, berlayar menuju New Guinea. Organisasi misi mereka menugaskan mereka melayani Suku Sawi. Ini adalah salah satu suku di Papua yang masih mewarisi budaya kanibalisme dan potong kepala!

Kecemasan mereka bertambah mengingat mereka belum menguasai bahasa suku tersebut. Sembari Don mempelajari bahasa dan semakin mengenal penduduk Sawi, dia mulai menyadari sebuah jurang besar dalam memperkenalkan Injil:

Bagaimana cerita tentang Juruselamat maha kasih, yang rela mati bagi umat manusia, dapat mereka pahami?

Jurang itu tampaknya begitu sulit diatasi sampai Don menemukan konsepsi dalam budaya Suku Sawi mengenai Penebusan.

Suku Sawi memiliki caranya sendiri untuk membuktikan ketulusan niat dan komitmen menciptakan rekonsiliasi. Segala ungkapan untuk menjalin persaudaraan diragukan, kecuali melalui satu perbuatan.

Iktikad rekonsiliasi antar-suku dimulai ketika seorang pria menyerahkan bayi laki-lakinya kepada musuhnya. Jika ia bersedia menyerahkan anaknya, maka ia dapat dipercaya. 

Musuh akan menerima anak itu dan memeliharanya. Selama anak itu hidup, perdamaian di antara kedua suku terpelihara.

Analogi "Anak Perdamaian" ini kemudian dipakai Don untuk menunjukkan kepada Suku Sawi bahwa Allah adalah Bapa yang bersedia menyerahkan Putra-Nya yang kekal untuk memperdamaikan umat manusia dengan Dia.

Ambillah Anak Papua sebagai Anakmu
Bagaimana caranya agar iktikad permohonan maaf kita dipercaya oleh saudara-saudara kita di Papua? Rekonsiliasi bukanlah jargon yang tidak bertubuh. Anak-anak Papua itu sendiri adalah wujudnya.

Ambillah anak-anak Papua itu sebagai anak kita sendiri. Kepala-kepala suku di sana telah memercayakannya untuk kita pelihara. Jagalah mereka, beri mereka makan. Tanyakan bagaimana perkembangan studi mereka. Bantulah jika mereka kekurangan dana. Tidakkah kita juga senang bila anak-anak kita yang studi merantau di luar pulau, ada yang memperhatikan mereka?

Perlakukanlah anak-anak Papua itu seolah-olah mereka lahir di rumahmu sendiri. Jika mereka nakal, tegurlah dengan kasih. Tetapi jika engkau yang bersalah, mengapa tidak meminta maaf? 

Tanggalkanlah ego sektoral itu.

Masyarakat Papua mencintai perdamaian. Dalam kekerasan wajah dan postur mereka tersimpan kebajikan-kebajikan yang memimpin kehidupan. Masalahnya bukan pada mereka, tetapi pada kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun