Mohon tunggu...
Philip Manurung
Philip Manurung Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

lahir di Medan, belajar ke Jawa, melayani Sulawesi, mendidik Sumatera; orang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Rommy dan Runtuhnya Integritas Moral Generasi X

15 Maret 2019   19:28 Diperbarui: 15 Maret 2019   19:36 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tak terhitung sudah berapa kali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap pejabat publik yang melakukan tindak pidana korupsi melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT). Jabatan puncak bukanlah pengecualian bagi KPK. Dan, untuk kesekian kalinya, pucuk pimpinan sebuah parpol besar digelandang ke tahanan.

Romahurmuziy, atau yang sering disapa Rommy, Ketum PPP hari ini terkena OTT oleh para penyidik KPK di Jawa Timur.  Ironis. Tertangkapnya Rommy menambah deretan panjang ketum parpol yang telah menodai pakta integritas anti-korupsi.

Kita masih mengingat dengan penuh kekecewaan beberapa nama yang kini mendekam di penjara akibat korupsi. Luthfi Hasan, mantan Presiden PKS, ditangkap pada Januari 2013, karena menerima suap terkait kuota impor daging. Anas Urbaningrum, mantan Ketum Demokrat, ditangkap pada Februari 2013 terkait gratifikasi proyek Hambalang. Suryadharma Ali, mantan Ketum PPP, ditangkap pada Mei 2014 sebagai tersangka korupsi dana haji. Terakhir, Setya Novanto, mantan Ketum Golkar, ditangkap pada November 2017 terkait kasus korupsi KTP elektronik.

Dari semua koruptor yang disebutkan di atas, 2 orang lahir sebagai generasi baby boomers, 2 orang dari generasi X. Rommy memecahkan rekor sebagai ketum parpol termuda yang ditangkap (44 tahun), juga mewakili generasi X.

Dengan tertangkapnya Rommy, ada dua fakta yang kian jelas: 1) regenerasi koruptor di negeri ini berjalan sukses, dan 2) ada krisis dalam sistem partai politik di negara kita.

Kita mulai dengan fakta yang kedua dulu. Di zaman ini, kontes-kontes Pilkada dan Pileg sesungguhnya merupakan bagian dari proses "industrialisasi-demokrasi". Untuk berpartisipasi di dalam industri ini, setiap individu yang berkompetisi harus memiliki modal tertentu. Besaran modal yang dibutuhkan bervariasi, tergantung posisi apa yang diinginkan.

Untuk setiap investasi yang ditanamkan, caleg (calon legislator) atau calkada (calon kepala daerah) mengharapkan return dengan bunga tertentu. Semakin besar biaya politik yang dikeluarkan, semakin besar potensi korupsi yang nantinya dilakukan oleh kepala daerah atau anggota dewan setelah menjabat.

Meskipun Rommy, dan barisan mantan ketum Parpol di atas, bukanlah kepala daerah atau anggota dewan, tidak berarti mereka terhindar dari sistem investasi politik yang korup. Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk mencapai posisi puncak suatu partai politik diperlukan mahar yang amat besar. Banyak orang yang harus dibayar, dan semua orang ada harganya. Wajar saja bila para ketua umum mengharapkan balik modal lengkap dengan bunga-bunganya.

Namun, metode korupsi yang mereka pakai tentu berbeda dari kepala daerah keluaran Pilkada. Mereka tidak dapat menyedot langsung dari mata air anggaran daerah atau kementerian. Seperti raja dalam catur, mereka tidak bisa banyak berakrobat, tetapi memiliki pengaruh yang besar.

Maka, dengan memanfaatkan pengaruh itu, mereka berimprovisasi sebagai makelar, menawarkan jasa pengaturan proyek atau kebijakan. Mereka men-sugesti kepala-kepala daerah atau pejabat-pejabat pemerintahan dalam lingkungan partainya untuk memodifikasi kebijakan atau memenangkan tender oknum-oknum tertentu. Selanjutnya, imbalan uang terima kasih mengalir dari pejabat atau pengusaha yang diuntungkan dari jasa tersebut. Macam-macam bentuknya, dari "apel malang", "salak bali", "juz" sampai "obat".

Sekarang kita beralih kepada fakta yang pertama. Tertangkapnya Rommy mengindikasikan bahwa regenerasi koruptor di negeri ini cukup berhasil. Kita dapat mengharapkan sejumlah koruptor lain dari generasi X akan ditangkap dalam waktu dekat ini. Bila laju regenerasi seperti ini dipertahankan, kemungkinan lima tahun kemudian akan ada koruptor dari generasi Y yang ditangkap KPK.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun