"Janji kesetiaan melampaui simbol yang tampak, karena terpatri pada sukma dan terhubung dengan alam semesta, leluhur dan yang Ilahi!"
*****
Siang hari, pada pertengahan 2017, pada jam istirahat kerja, pintu ruang tempat saya bekerja diketuk. Seorang Kaka, menghampiri saya. Ia mengajak saya ke belakang kantor. Ia kemudian berbisik, "Kaka lihat kau sendiri, apakah mau masuk biara lagi? Ada seorang kenalan saya, saya bisa jodohkan dengan adik!"Â
Ketika mendengarkan penjelasan Kaka, saya tertawa terbahak-bahak. Kaka itu merasa heran. "Kenapa adik tertawa?" Saya jawab, "Saya telah menikah." Kaka itu bilang, "Kaka lihat kau tidak pakai cincin, sendiri saja, seperti mau masuk biara lagi, makanya Kaka tanya." Lalu, kami tertawa bersama-sama.
Waktu nikah, pertengahan 2014, saya hanya mengenakan cincin nikah pada saat pernikahan itu. Sesudahnya saya lepas.
Alasannya sederhana. Waktu saya melakukan perjalanan ke Agats, Asmat, Agustus 2011, dari Jayapura ke Timika, dan saat mau mendarat, saya melihat bentangan tailing puluhan kilometer, akibat tambang PT Freeport.
Sejak saat itu, saya berjanji pada diri saya sendiri bahwa saya tidak akan memakai apa pun yang terkait dengan emas. Karena, tambang itu telah merusak ekosistem alam, dan kehidupan masyarakat adat.
Cincin nikah itu simbol janji setia dua insan, yang mau hidup bersama. Janji untuk setia dalam susah dan senang sampai maut memisahkan.
Apakah dengan tidak memakai cincin nikah, maka janji itu akan luntur? Tentu tidak! Karena, janji terpatri di lubuk sukma. Ke mana kaki melangkah, janji itu mengikutinya. Karena itu, tanpa cincin nikah yang melingkar di jari, seseorang tetap terikat pada janjinya.
***