Mohon tunggu...
Petrus Rabu
Petrus Rabu Mohon Tunggu... Buruh - Buruh

Harapan adalah mimpi dari seorang terjaga _Aristoteles

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Fenomena "Mahar Politik" dan Rusaknya Tatanan Demokrasi Bangsa

13 Januari 2018   16:23 Diperbarui: 14 Januari 2018   09:58 3417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Tribunnews.com

Kasus Mantan Ketua PSSI, La Nyalla Mattalitti yang tidak masuk dalam  bursa pencalonan Cagub Jatim menarik untuk disimak. Sebagaimana kita ketahui dari berbagai media cetak dan elektronik batalnya La Nyalla  Mattalitti yang sebenarnya kader internal Partai Gerindra untuk maju sebagai Cagub Jawa Timur tersebut terkait besarnya mahar politik yang yang  harus dibayar. 

Kendatipun kemudian sejumlah politisi Partai Gerindra mengklarifikasi itu bukan sebahai "mahar" tetapi uang saksi dan biaya operasional persiapan pelaksanaan pemilu.

Sebagai pengamat yang berada di luar arena saya tidak terlalu jauh mengulas masalah ini karena persoalan internal partai. Tetapi saya perlu memberikan apresiasi kepada Abang La Nyalla Mattalitti yang dengan jiwa ksatria membeberkan persoalan ini publik. Sebagai anak bangsa yang cinta demokrasi. Cinta NKRI. Cinta keadilan dan cinta akan rakyat saya patut mengacungkan jempol kepada Bang La Nyalla Mattalitti.

Fenomena mahar politik ataupun sejenisnya seperti money politic bukan hal baru dalam perjalanan demokrasi bangsa ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap kandidat atau calon kepala daerah baik kader internal parpol maupun non kader yang potensial harus membayar sejumlah uang atau mahar untuk mendapatkan tumpangan "perahu" dalam tahapan pemilukada. 

Bukan saja dalam hal pemilihan kepala daerah atau pemilihan presiden, pada pemilihan legislatif pun hal serupa sering terjadi. Tak sedikit calon legislatif kita harus menjual harta benda dan merogoh kocek demi nomor urut teratas. Yah inilah wajah politik kita. Politik busuk. Politik yang diwarnai dengan uang. 

Undang-Undang Parpol yang memberikan kewenangan kepada parpol untuk merekrut calon kepala daerah dan wakil kepala daerah serta calon anggota legislatif seakan melegitimasi "politik uang" atau "mahar politik" itu. 

Karena itu kualitas calon pemimpin kita pun hanya bisa ditakar secara materi. Karena itu "mahar politik" ini  telah menjadi penyakit akut yang merusak  ziarah/perjalanan tatanan demokrasi bangsa. Memang ada bahasa diplomasi bahwa itu tak pernah ada, tapi realitanya itu terjadi. Itulah diplomasi politik.  

Artinya bahwa hanya orang berduit yang memiliki peluang dalam memimpin negeri ini. Kendatipun ada peluang pencalonan non partai tetapi persyarakatan tak sedikit. Akhirnya kita abaikan aspek-aspek keutamaan yang harus dimiliki seorang pemimpin atau pun calon pemimpin dalam bursa pencalonan.

Tradisi Yunani kuno menyebut keutamaan sebagai arete. Artinya kualitas kecenderungan positif di dalam diri seseorang untuk berkehendak dan berbuat baik sesuai dengan keutamaan itu. Dalam tradisi Barat selanjutnya membedakan empat keutamaan pokok, yakni  kearifan, pengendalian diri, keadilan, dan keberanian.

Keutamaan-keutamaan inilah yang memampukan seseorang melaksanakan tugasnya dengan baik atau berkompetensi maupun beramanah atau berintegritas.  

Kompetensi tanpa integritas itu berujung korupsi. Integritas tanpa kompetensi membuat pemimpin mudah diakali bawahan. Kekuasaan diembannya sebagai jalan melipatgandakan kebajikan publik.

Hegemoni parpol dalam penentuan calon pemimpin mengaburkan hal ini. Dampaknya banyak kepala daerah terjebak dalam kasus-kasus korupsi. Pelayanan publik terabaikan. Roda pembangunan dan upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat berjalan di tempat.

"Selama tiga tahun masa pemerintahan Presiden Jokowi ini sudah 33 kepala daerah yang terjerat korupsi, selama KPK ada sudah 351 kepala daerah yang tertangkap belum lagi anak dan istrinya,"  ujar Menteri Dalam Negeri, Cahyo Kumolo (sebagaimana dikutip Bisnis.com  26/9/2017).

Memang "mahar politik" bukan satu-satunya penyebab para kepala daerah terjebak dalam kasus korupsi. Tapi setidaknya proses perekturan awal juga menentukan hasil. Kata orang bijak awal baik maka hasil pun baik. Lao Tzu berkata perjalanan beribu-ribu mil ke depan berawal dari suatu langkah yang sederhana.

Kembali  ke masalah "mahar politik." Berdasarkan pengamatan riil penulis sebenarnya ada dua tipe "mahar politik" antara lain mahar langsung dan mahar tidak  langsung. 

Mahar Langsung

Mahar langsung adalah mahar yang harus dibayar oleh calon pada saat pendaftaran. Kasus La Nyalla adalah termasuk dalam tipe ini. Mahar dalam tipe ini sebagai wujud komitmen politik untuk mendapatkan rekomendasi parpol. Tipe ini sebenarnya baik karena kedua belah pihak sama-sama mendapatkan keuntungan. Parpol mendapatkan fresh money sedangkan calon mendapatkan rekomendasi. 

Sayang tipe ini tidak mengakomodir kader-kader partai ataupun non partai yang berkualitas hanya karena minim materi. Yang diakomodir adalah kaum-kaum bermodal atau kaya secara finansial yang belum tentu kaya hati. Dampaknya lahirlah pemimpin yang tidak sesuai harapan masyarakat.

Mahar Tidak Langsung

Sebenarnya tipe ini sama dengan tipe pertama. Hanya saja mahar dalam tipe ini dibayar setelah calon terpilih sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah ataupun setelah menjadi anggota legislatif. 

Hanya saja prakternya berbeda. Jika pada tipe pertama calon harus membayar sejumlah uang kepada parpol dalam bentuk fresh money tetapi dalam tipe kedua atau tipe tak langsung ada komitmen kedua belah untuk dibayar setelah calon terpilih dalam proses pemilihan. Masyarakat luas menamainya sebagai "politik balas budi." 

Dalam  tipe ini calon terpilih tidak saja menyerahkan sejumlah uang kepada partai pengusung tetapi juga mengintervensi proses penyelenggaraan pemerintahan baik menentukan jabatan strategis dalam pemerintahan maupun  memintah "jatah" proyek atau kegiatan dengan dalih "balas budi."

Dampaknya kepala daerah dan wakil kepala daerah dan seluruh jajarannya terjebak secara emosional di bawah kendali parpol pengusung dan sangat sulit mengontrol jalannya roda pemerintahan dan pembangunan. Hadirnya pemerintahan tak memberi dampak berarti bagi masyarakat. Yang ada muncul elit-elit baru di daerah yang berkuasa secara ekonomi maupun sosial.

Politik Jalan Tengah

Sebenarnya hadirnya sistem pencalonan dari unsur independen merupakan politik jalan tengah untuk menghindari dan meminimalisasi fenomena "mahar politik" dalam tatanan demokrasi kita. Karena melalui sistem ini calon bersangkutan tidak memiliki beban politik apapun terhadap partai politik.

Hanya saja minat masyarakat melalui jalur independen sangat berkurang. Entah karena ketatnya persyaratan ataukah sudah muak dengan dinamika politik tanah air yang bukannya makin hari makin baik tetapi malah menarik garis mundur yang menimbulkan sikap pesimis dan apatisme. Karena itu bagi saya pembangunan demokrasi di tanah air sangat bergantung pada integritas pribadi dari calon yang bersangkutan.  

Mahar politik hanyalah harga yang harus dibayar untuk mempertegas perjuangan dan komitmen pribadi dalam memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyatakat. Karena toh masih banyak kepala daerah yang berhasil membangun bangsa ini walaupun melewati badai mahar politik tadi. 

Dan lebih bagusnya semua parpol di tanah air tidak menetapkan harga politik tertentu saat rekrut calon pemimpin tetapi benar-benar berdasarkan pada keutamaan pokok seorang pemimpin. 

#Salam Demokrasi

#Penulis: Petrus Rabu-Tinggal di Waisai, Raja Amp

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun