"Lalu haruskah kukatakan kau akan mati?"
"Mati," Talia mengulangi kata itu lalu tertawa lemah. "Seperti kucing saja."
"Kau masih memedulikan bahasaku di saat seperti ini?" Aku tersenyum. Itu memang kebiasaan khas Talia, mengoreksi penggunaan bahasa yang salah. Bahkan sampai menjelang ajalnya.
Talia menyandarkan kepala di bahuku. Aku bisa merasakan tulang tengkoraknya yang menonjol di kepalanya yang licin tak berambut. Kemoterapi telah merenggut rambutnya yang dulu halus dan berombak.
"Kamu lelah? Kita masuk saja sekarang."
Akhir-akhir ini ia sering pingsan kalau kelelahan. Gawat kalau ia pingsan di sini. Tidak ada yang bisa dimintai bantuan. Mana kuat aku membopongnya sendirian.
Talia menggeleng lemah.
"Ar... aku belum siap pergi."
Aku tahu maksudnya bukan pergi dari tempat ini, tapi pergi dari dunia ini. Namun aku tak bisa menjawab. Kata-kata hiburan menggumpal, menyangkut di tenggorokanku. Sejatinya aku tahu, tidak satupun kata itu bisa menghiburnya.
"Aku masih ingin sekolah, ingin kuliah, bekerja, dan hidup bersama orang yang kucintai. Aku baru lima belas tahun, Ar.... Ini sungguh tidak adil," ia mulai terisak di bahuku. Air matanya jatuh membasahi kaus yang kupakai.
"Kenapa orang lain diijinkan berumur panjang? Kenapa teman-temanku tidak ada yang menderita leukimia sepertiku? Kenapa orang lain bisa bahagia, sementara aku tidak? Kenapa?" Isakannya berubah menjadi kemarahan.
Nada Talia semakin meninggi, "Aku sungguh tidak paham dengan orang yang bunuh diri. Mereka dikaruniai hidup yang berharga dan mereka membuangnya begitu saja. Tentu saja mereka menjalani hidup yang sangat berat hingga memutuskan bunuh diri. Tetapi aku tetap tidak bisa menerima. Aku rela menukar hidupku dengan hidup mereka!"