Pertama, perusahaan secara sengaja menggelembungkan pendapatan secara fiktif. Dalam laporan keuangannya, eFishery mencatat pendapatan sebesar Rp12,3 triliun, padahal setelah dilakukan investigasi, ditemukan bahwa pendapatan riil hanya mencapai Rp2,6 triliun. Perbedaan angka yang sangat signifikan ini diperoleh melalui penciptaan transaksi-transaksi palsu. Transaksi tersebut dibuat seolah-olah terjadi antara eFishery dan entitas lain yang dalam kenyataannya tidak benar-benar melakukan pembelian. Entitas tersebut termasuk perusahaan-perusahaan fiktif serta beberapa yang masih memiliki hubungan afiliasi, namun tidak pernah melakukan pertukaran barang atau jasa nyata.
Kedua, untuk mendukung rekayasa tersebut, eFishery menciptakan sejumlah entitas fiktif atau biasa disebut perusahaan boneka. Perusahaan-perusahaan ini hanya ada di atas kertas dan tidak memiliki kegiatan operasional nyata. Mereka dibentuk untuk mencatat penjualan palsu, sehingga volume penjualan dan pendapatan tampak lebih besar. Tindakan ini juga berdampak pada valuasi perusahaan, karena angka penjualan yang meningkat memberikan ilusi pertumbuhan eksponensial yang menarik bagi investor.
Ketiga, manipulasi juga terjadi pada aspek arus kas operasional. Arus kas merupakan indikator utama kesehatan keuangan jangka pendek perusahaan dan sering menjadi perhatian utama bagi investor. Untuk menciptakan kesan bahwa arus kas operasional eFishery dalam kondisi positif, dana yang diperoleh dari pinjaman jangka pendek dilaporkan seolah-olah sebagai hasil dari aktivitas operasional. Padahal, dalam kenyataannya, perusahaan tersebut sangat bergantung pada utang untuk menutupi biaya operasionalnya.
Keempat, strategi manipulasi juga mencakup penghapusan atau penyembunyian beban operasional yang sebenarnya besar. Dalam laporan keuangan yang disajikan, sejumlah besar pengeluaran---seperti biaya pemasaran, gaji pegawai kontrak, dan pengeluaran proyek---tidak dimasukkan ke dalam catatan keuangan resmi. Akibatnya, laba bersih perusahaan tampak jauh lebih tinggi dari kondisi yang sebenarnya, memperkuat kesan bahwa perusahaan sangat sehat secara finansial.
Ketika skandal ini terungkap, konsekuensinya pun tak terelakkan. CEO dan CPO eFishery mengundurkan diri, gelombang PHK massal terjadi, dan investor mulai menarik dananya dari perusahaan. Lebih buruk lagi, regulator keuangan seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mulai turun tangan untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut.
Di Mana Letak Pelanggaran Etika Akuntan dan Auditor?
Â
Tindakan manipulatif yang dilakukan oleh eFishery tidak mungkin terjadi tanpa adanya kelonggaran atau bahkan keterlibatan dari pihak-pihak yang seharusnya menjaga integritas laporan keuangan. Dalam konteks ini, profesi akuntan dan auditor berada di bawah sorotan tajam karena dugaan pelanggaran etika profesional yang mendalam.
Pertama-tama, pelanggaran terhadap prinsip integritas merupakan inti dari skandal ini. Integritas adalah nilai dasar yang menjadi pondasi profesi akuntansi, yang menuntut setiap profesional untuk menyampaikan informasi keuangan secara jujur, tanpa bias, dan tidak menyesatkan. Dalam kasus ini, akuntan yang menyusun laporan keuangan eFishery tidak hanya gagal bersikap jujur, tetapi juga secara aktif terlibat dalam manipulasi angka untuk menciptakan narasi keuangan yang palsu. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip integritas telah dikorbankan demi pencapaian target bisnis atau tekanan dari manajemen.
Selanjutnya, auditor yang melakukan pemeriksaan terhadap laporan keuangan eFishery juga dinilai gagal menjalankan skeptisisme profesional---sebuah prinsip yang menuntut auditor untuk selalu waspada dan mempertanyakan keabsahan informasi yang diperiksa. Dalam situasi seperti eFishery, di mana terjadi lonjakan pendapatan dan valuasi secara tidak wajar, seharusnya auditor menggali lebih dalam dan melakukan verifikasi silang. Namun, fakta bahwa skema manipulatif ini bisa berlangsung selama beberapa tahun menunjukkan adanya kegagalan dalam mendeteksi transaksi palsu. Penyebabnya dapat berupa kurangnya skeptisisme, ketergantungan yang tinggi terhadap klien, atau bahkan konflik kepentingan yang membuat auditor enggan menindaklanjuti temuan mencurigakan karena khawatir kehilangan proyek audit.
Terakhir, peran akuntan internal dalam perusahaan juga tidak dapat diabaikan. Sebagai garis pertahanan pertama dalam sistem pengendalian internal, akuntan internal seharusnya menjadi pihak yang mendeteksi dan mencegah manipulasi laporan keuangan. Namun, dalam kasus eFishery, bukti menunjukkan bahwa akuntan internal justru menjadi bagian dari skema tersebut. Hal ini mencerminkan lemahnya sistem pengawasan internal dan adanya budaya perusahaan yang lebih mengutamakan pencitraan dan pertumbuhan dibandingkan dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi.