Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pengemis dan Anaknya

28 Maret 2023   14:55 Diperbarui: 28 Maret 2023   15:05 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pengemis dan Anaknya

Cerpen Yudha Adi Putra

"Lalu, kita akan makan apa, Bu. Panas sekali kakiku tanpa sandal. Aku juga mau sandal !" tengek anak kecil pada Ibunya. Jarwo bertanya, meminta, tanpa melihat Ibunya yang tengah asyik melihat kain. Untuk perjalanan jauh, semua kain disiapkan. Tak boleh ada benda tertinggal. Kalau mungkin, memunggut sesuatu.

***

Tempat yang menentukan mereka makan atau tidak itu akhirnya mulai ramai. Sepanjang malam, sudah banyak deru kendaraan tiba. Membawa sayuran, buah, bahkan apa saja yang bisa laku. Sontak, Ibu dan anak kecil bernama Jarwo itu membayangkan. Betapa nanti siang, mereka dapat makan enak. Dapat banyak uang, bisa juga pakaian hangat untuk bermalam. Jarwo iri, kadang pagi datang begitu cepat. Kantuknya belum sembuh. Dan, malam seolah memperhatikan mereka. Di tengah segala keterbatasan, masih dibiarkan mereka hidup, sementar esok ?

Pasar penentu hidup Ibu dan anak akhirnya buka. Sesekali, calon penjual dan pembeli melihat mereka. Tampak malu, kadang kasihan. Lebih ingin peduli. Ibu dan anak itu tahu betul apa alasan tatapan pada mereka. Namun, sudah dua hari mereka tak makan nasih. Ragu bisa bekerja. Jauh lebuh buruk dari tidak ada di pasar, tetapi kalau di pasar bergumul. Takut dengan kejaran petugas keamanan.

Setdikanya, ketika di pasar masih ada harapan, mereka bisa dapat sisa makanan. Sementara anak kecil, pasar membuat keinginannya seperti rumput. Terus tumbuh meski didiamkan. Ia bebas berjalan ke tiap ruko. Tentu dengan syarat, akan siap diusir kapan saja. Lalu, ketika merenggek, mungkin bisa dilempar dua atau tiga uang recehan.

Sang Ibu tak pernah menyesali keputusannya pergi dari rumah mertuanya. Banyak tayangan di TV adalah teladannya, betapa tidak nyaman hidup dengan mertua galak dan senang ikut campur. Selama bisa bebas, tubuh sehat, dan punya impian, tentu hidup masih bisa diperjuangkan. Prinsip itu terbakar hebat ketika sang Ibu memutuskan mengajak anaknya untuk pergi, tepat dua tahun lalu. Sebelum hari itu, hari jadi penuh misteri.

"Tetanggaku dulu juga ada yang minggat. Dan, sekarang malah jadi janda kaya yang dimintai utang banyak orang,"

Sang Ibu teringat cerita ketika dulu masih hidup di kampung. Hidup di desa lebih menyenangkan, paling tidak tanpa pagar tinggi. Orang bebas masuk, dan tahu apa yang terjadi. Yang disebut privasi, kadang tidak ada. Bisa jadi, orang tahu banyak tentang diri kita. Janda yang dulu pergi dari rumah itu, termasuk dari cerita di kampung. Hidup dari mulut ke mulut. Selalu segar diceritakan kembali.

"Tapi, mengubah nasib tidak bisa semudah itu,"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun