Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senyuman Penjual Tahu

12 Januari 2023   20:00 Diperbarui: 12 Januari 2023   20:00 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senyuman Penjual Tahu

Cerpen Yudha Adi Putra

"Kalau hubunganmu dengan orang lain baik, nanti masalah rumit akan jadi sederhana. Begitu juga sebaliknya, saat relasi tidak dekat atau hubungan penuh masalah. Nanti, masalah sederhana akan diperumit, percayalah!" kata Eko sambil menaburkan sedikit cabai pada gorengan pesanan pembeli.

Pembeli berbaju batik itu merasa mendapatkan wejangan. Wajah lapar sekaligus tercerahkan karena ucapan Eko. Seperti biasa, ketika pembeli tadi sudah mendapatkan pesanan. Ia membayar dengan uang lebih. Ada kesengajaan yang menjadi kebiasaan, Eko kira dulu karena kasihan. Maklum saja, mukanya melas saat berjualan gorengan.

"Sudah, kembaliannya buat Mas saja, terima kasih ya. Saya jadi lebih percaya diri, semua bisa dilalui. Doanya ya Mas !" ucap pembeli lalu pergi meninggalkan gerobak lusuh milik Eko.

Bentuknya memang seperti gerobak. Tapi, sudah dimofikasi sedemikan rupa untuk menjual gorengan. Jadi, ada tempat lebar untuk meniriskan minyak goreng dan gorengan hanya siap untuk disantap. Eko juga menyediakan cabai, walau tidak banyak. Cabai dan gorengan bisa menjadi paduan nikmat saat dimakan setelah bermacet-macetan pulang kerja.


"Kalau sarjana, kenapa hanya jualan gorengan ya ?" terdengar di telinga Eko, seorang perempuan menyindir dirinya.

"Tidak masalah. Kamu saja yang suka komentar sama hidup orang lain. Jual gorengan juga enak, belum lagi itu bisa mengurangi saingan pencari kerja seperti kita," celetuk kawan lain. Ada dua perempuan menanti gorengan Eko. Mereka berbaju putih dan celana hitam, lengkap dengan tas dan wajah lapar karena kelelahan seharian.

"Sebelumnya pernah menjadi guru. Tapi, dia tidak mau mencukur rambutnya. Jadi, dia tidak bisa mengajar" lanjutnya.

"Dari mana kamu tahu?" tanya perempuan dengan tas hitam.

"Dulu Ibuku bercerita. Dia mengajar di SMP. Hanya beberapa pertemuan saja,"

Eko hanya tersenyum mendengar percakapan mereka. Mungkin, dua orang itu mengira Eko tidak mendengarkan karena asyik menggoreng tahu.

***

Harga sembako mulai melambung tinggi. Tentu, itu menjadi masalah besar bagi pengusaha gorengan seperti Eko. Setiap hari, setidaknya butuh sepuluh liter untuk menggoreng aneka gorengan.

"Pakai minyak goreng kemarin saja. Jadi, sisa minyak penggorengan dicampur dengan minyak baru. Biar awet dan bisa menggoreng banyak," saran seorang penjual minyak.

"Sudah, berhemat saja. Kurangi ukuran gorengan, biar nanti bisa menutup modal. Kalau pakai minyak sisa kemarin, itu tidak baik buat kesehatan," ujar penjual sayuran.

Membuat gorengan bagi Eko juga membuat relasi. Ada interaksi antar penjual ketika dia membeli bahan baku, menurutnya. Semua pandangan mereka menarik.

"Penjual gorengan malah disuruh bahas kesehatan, tapi ini lagi bicara soal keuntungan. Jadi penjual gorengan itu untungnya banyak, kalau tidak usah beli minyak. Beli minyak buat sulit kembali modal," seru penjual gorengan lain ketika membeli minyak bersama Eko.

Eko tetap membelanjakan uang modal berjualan gorengan seperti biasa, meski harga bahan melambung tinggi. Ia tetap dengan takaran sama, sebuah pilihan sulit dalam baginya. Menaikkan harga gorengan atau berbuat curang supaya keuntungan tetap stabil, setidaknya bisa kembali modal dan ada tabungan yang disisikan.

"Sebenarnya, menjual gorengan itu seperti berpuisi. Kadang, kalau waktunya tepat bisa begitu berharga. Misalnya saja, bisa untuk kudapan ketika ronda. Teman menikmati teh manis. Tidak jarang, dijadikan lauk ketika tidak cocok dengan sayuran di rumah. Hanya saja kalau tidak sesuai, langsung dituduh sumber penyakit," ujar Eko ketika ditanya alasan berjualan gorengan.

"Kau bisa melakukan lebih dari menjual gorengan bukan?" seorang pemuda seusia Eko bertanya. Apa yang membuat Eko tak berambisi seperti pemuda lain. Investasi, membeli saham, hingga membangun citra diri. Seolah, Eko tidak memanfaatkan gelar sarjananya untuk berkarya.

"Ini soal puasa," jawab Eko singkat.

"Maksudnya?"

"Kau bisa melakukannya, tapi memilih untuk tidak. Demi kepentingan lain," senyuman penjual tahu terlihat kembali. Pak Darso dan Eko, ternyata memiliki sifat sama. Tidak neko-neko[1].

 

Sedayu, 12 Januari 2023

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun