Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Penjual Hik di Solo, Mengira Mau Digendam?

27 Mei 2024   13:42 Diperbarui: 27 Mei 2024   14:29 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saat memilih makanan (dokumen pribadi)

Penjual Hik di Solo, Mengira Mau digendam?

Oleh: Suyito Basuki

Jam menunjuk sekitar 23.30 saat kami sampai di Terminal Tirtonadi Solo. Kami dari Wonogiri mau pulang ke Jepara, tetapi lebih dulu mau mampir di Salatiga.  Kami berempat menunggu bus jurusan Solo-Semarang. 10 menit menunggu, bus belum nongol. Kami menunggu di pintu/ gate paling barat.

Di trotoar gerbang ujung ada penjual makanan dengan pikulan. Di Solo penjual makanan seperti angkringan tetapi dipikul itu namanya Hik. Tiba-tiba timbul ide pengin membuat tulisan tentang Hik Solo. Saat mahasiswa 30 tahunan yang lalu, akrab dengan dagangan Hik yang saat itu masih banyak keluar masuk kampung. Makanan beraneka ragam tersedia di dagangan Hik dengan harga yang ekonomis, ramah dengan kantong mahasiswa.

Terpikir seperti itu, maka aku punya taktik untuk mengorek keterangan dari bapaknya yang jual Hik itu. Aku lalu minta seorang rekan untuk memfoto saat aku memilih makanan di dagangan Hik itu. Mulailah aku beli makanan yang tersaji. Aku mengambil makanan saren, timus dan kacang goreng. Murah harga makanan itu rata-rata 2 ribuan, bahkan timus, ketela goreng cuma seribu rupiah.


Setelah itu mulailah aku wawancara. "Sudah berapa lama pak berjualan?" Suaraku agak kencang bersaing dengan derum bus malam di terminal. "50 tahunan," jawab penjual yg berusia sekitar 60-an tahun, tanpa ekspresi. Aku menyenggol ringan kakinya sambil bertanya,"Bapak namanya siapa?" Aku tidak sadar jika menyenggol kakinya dengan tangan itu memberi kesan yang negatif kepadanya. Maksudku ingin menunjukkan keramahan, tetapi penerimaannya sungguh berbeda. "Untuk apa tanya nama-nama segala?" Katanya ketus. Waduh, kenapa jadi begini? Langsung dia menyembunyikan uang hasil penjualannya masuk ke bawah tampah. Tampah itu tempat dalam bentuk bundar yang dibuat dengan cara menganyam bambu.  Oleh penjual Hik, tampah itu digunakan sebagai wadah penganan-penganan yang dijual.  

Jadinya uang yang semula nongol menjadi tersembunyi.  Oalah, mungkin dengan aku menyenggolkan tanganku ke kakinya, dikira aku melancarkan gendam kepadanya. Aku jadi ingat model "cablek". Ada orang yang memperdaya sesamanya dengan cara gendam cablek. Yakni dengan menyenggol, menyentuh, atau menepuk korbannya, maka si kurban itu akan lupa segalanya dalam sesaat. Pada waktu lupa sesaat itulah maka pelaku dapat memperdaya korban supaya tanpa sadara menyerahkan harta, uang, maupun perhiasannya.

Jadi aku simpulkan, mungkin karena takut diperdaya dengan ilmu gendam, maka penjual Hik itu secara spontan menolak ketika aku menanyakan namanya. Maksudnya semula melakukan wawancara untuk bahan tulisan, eh malah narasumbernya melakukan penolakan yang mungkin demi keamanan dirinyasendiri dari orang yang ia perkirakan jahat. Pelajaran penting bagiku, kalau mewancara kepada seseorang tidak akan lagi bergaya sok akrab dengan menyenggol, menyentuh, atau menepuk anggota badan narasumber. Dikira nanti lakukan modus gendam atau cablek hehehe...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun