Redaktur: Bintang Akira Cahyarini
Nepal saat ini tengah menghadapi gejolak besar yang dipicu kombinasi krisis politik, bencana alam, serta tekanan ekonomi dan sosial. Gelombang protes yang dipimpin oleh generasi muda, dikenal sebagai Gen Z protests, meletus akibat kekecewaan terhadap praktik korupsi, nepotisme, dan kebijakan pemerintah yang dianggap membatasi kebebasan berekspresi. Protes yang dilakukan Gen Z Nepal merupakan akumulasi kemarahan rakyat selama berbulan-bulan terhadap kesenjangan hidup di negara tersebut. Merujuk data World Bank yang dikutip Reuters, lebih dari 20% penduduk Nepal hidup dalam kemiskinan. Lalu, 10% penduduk terkayanya memiliki penghasilan lebih dari 3 kali lipat pendapatan 40% penduduk termiskin. Tak hanya itu, menurut Survei Standar Hidup Nepal 2022-2023, tingkat pengangguran di sana mencapai 12,6%.
Pengumuman Larangan penggunaan media sosial pada tanggal 4 September 2025 seperti Facebook, X (Twitter), dan YouTube semakin memperkeruh suasana, memicu bentrokan antara aparat keamanan dan demonstran. Kerusuhan pun meluas. Ratusan demonstran pada 8 September 2025 dilaporkan menyerbu kantor Perdana Menteri, membakar gedung Mahkamah Agung, Parlemen Nepal, hingga kediaman pribadi PM Oli di Bhaktapur. Beberapa wilayah di Kathmandu, termasuk Kalanki, Baneshwor, Tahachal, dan Kalimati, ikut menjadi titik bentrokan. Menurut laporan Sekretaris Utama Pemerintah Eaknarayan Aryal  sejumlah fasilitas public rusak parah, 72 orang telah meninggal dunia, 191 orang sedang dalam perawatan, serta hampir 200 orang diyakini terluka dalam bentrokan dengan polisi. Aparat menggunakan gas air mata, meriam air, dan peluru tajam saat para pengunjuk rasa memanjat tembok parlemen dan gedung-gedung resmi lainnya. Â
Namun, ketergantungan ini menciptakan paradoks: ekonomi bertahan berkat kiriman uang dari luar negeri, tetapi dalam jangka panjang menggerus produktivitas di dalam negeri karena tenaga muda meninggalkan tanah air. Di tengah situasi itu, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah semakin menipis. Mereka melihat janji reformasi hanya sebatas wacana tanpa realisasi nyata. Akibatnya, krisis politik tidak hanya menimbulkan instabilitas jangka pendek, tetapi juga menciptakan lingkaran ketidakpastian yang memperlambat pemulihan ekonomi dan memperlebar kesenjangan sosial.
Di sisi lain, Nepal juga menghadapi ancaman serius dari bencana alam yang diperburuk oleh perubahan iklim. Pencairan gletser di Himalaya, banjir mendadak, dan tanah longsor melanda berbagai wilayah, merusak lahan pertanian, infrastruktur transportasi, serta memaksa ribuan warga mengungsi. Dampaknya terhadap perekonomian sangat signifikan: perdagangan lintas batas terganggu, aktivitas pertanian lumpuh, sementara sektor kesehatan kewalahan menangani lonjakan pasien akibat penyakit menular pasca bencana.
Nepal saat ini menghadapi krisis yang lebih dalam dari sekadar jatuhnya seorang perdana menteri. Akar masalahnya terletak pada rapuhnya struktur ekonomi, tingginya pengangguran, serta ketergantungan pada remitansi pekerja migran. Banyak proyek pembangunan tersendat akibat birokrasi dan persoalan lingkungan. Karena itu, jalan keluar menuntut reformasi menyeluruh: mulai dari transparansi anggaran, pemberantasan korupsi, penciptaan lapangan kerja dalam negeri, Investasi pada energi terbarukan, pariwisata berkelanjutan, dan industri kecil dapat membuka peluang baru, hingga kebijakan adaptasi iklim yang serius. Generasi muda didorong untuk terlibat langsung dalam perumusan kebijakan, sementara dukungan internasional diharapkan untuk memperkuat sistem strategi adaptasi iklim perlu diperkuat dengan sistem peringatan dini bencana, tata ruang ramah lingkungan, membangun infrastruktur tangguh, dan memperluas kerja sama perdagangan serta energi dan teknologi. Nepal kini berada di titik penentu, apakah mampu bangkit melalui reformasi nyata, atau kembali terjebak dalam lingkaran krisis politik dan bencana berulang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI