Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah menunjukkan komitmen kuat untuk mendorong transformasi digital, khususnya di sektor keuangan. Salah satu tonggak penting dari transformasi ini adalah lahirnya QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard), sebuah sistem pembayaran berbasis kode QR yang distandarisasi secara nasional oleh Bank Indonesia. Namun, langkah Indonesia untuk memperkuat kedaulatan sistem pembayarannya melalui QRIS tidak sepenuhnya mendapat sambutan positif dari semua pihak, termasuk Amerika Serikat. Ketegangan ini bukan bersifat langsung terhadap QRIS itu sendiri, melainkan lebih pada konteks yang lebih luas, yaitu penguatan sistem pembayaran domestik yang tidak bergantung pada infrastruktur keuangan global yang didominasi oleh AS, seperti jaringan SWIFT, Visa, dan MasterCard.
Pemerintah Indonesia melalui Bank Indonesia telah menjalin kerja sama dengan beberapa negara, seperti Thailand, Malaysia, Singapura, dan bahkan Tiongkok, untuk mengintegrasikan sistem pembayaran lintas negara berbasis QRIS. Langkah ini dilihat sebagai bagian dari strategi regionalisasi sistem keuangan Asia Tenggara dan pengurangan ketergantungan terhadap dolar AS. Hal inilah yang memunculkan kekhawatiran di kalangan pembuat kebijakan Amerika, terutama dalam konteks geopolitik dan dominasi sistem keuangan global.
AS secara historis memiliki kepentingan besar dalam mempertahankan dominasi dolar dan infrastruktur keuangan global berbasis AS. Ketika negara-negara berkembang seperti Indonesia mulai membangun sistem pembayaran yang independen dan terintegrasi secara regional, hal itu bisa dilihat sebagai ancaman terhadap status quo. QRIS, sebagai salah satu simbol kemandirian digital keuangan Indonesia, ikut terseret dalam dinamika ini.
Dalam era globalisasi ekonomi, sistem pembayaran menjadi salah satu instrumen paling strategis yang digunakan untuk mengontrol arus uang, data, dan bahkan kekuasaan. Selama puluhan tahun, dunia bergantung pada infrastruktur keuangan global yang didominasi oleh negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat, melalui jaringan seperti SWIFT, Visa, dan MasterCard.
Namun, ketergantungan tersebut menyisakan masalah besar bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Biaya transaksi tinggi, dominasi mata uang asing (dolar AS), hingga kontrol data keuangan oleh pihak luar menjadi persoalan yang tidak bisa lagi diabaikan.
A. Visa dan MasterCard: Potongan hingga 2,5%
Dalam sistem pembayaran konvensional global, pelaku usaha di Indonesia yang menerima pembayaran melalui jaringan Visa atau MasterCard dikenai potongan atau Merchant Discount Rate (MDR) yang bisa mencapai 2–2,5% per transaksi. Biaya ini sangat memberatkan, khususnya bagi pelaku UMKM, yang margin keuntungannya kecil.
Contohnya:
- Transaksi senilai Rp100.000 melalui Visa/MasterCard bisa membuat merchant kehilangan Rp2.000–2.500 hanya karena biaya layanan.
- Ditambah lagi dengan interchange fee, biaya layanan, dan konversi mata uang bila melibatkan kartu asing.
B. QRIS: Solusi Domestik yang Efisien dan Mandiri
Melihat permasalahan ini, Bank Indonesia menciptakan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) sebagai sistem pembayaran domestik yang inklusif, murah, dan efisien. QRIS dirancang untuk tidak bergantung pada infrastruktur asing, dan menjadi simbol kedaulatan keuangan digital nasional.
Keunggulan QRIS:
- Biaya transaksi jauh lebih rendah:
- UMKM hanya dikenai MDR maksimal 0,3%
- Sektor sosial dan pendidikan bahkan 0%
- Transaksi langsung antar aplikasi dan bank lokal, tanpa harus melewati jaringan internasional
- Data transaksi tetap berada di dalam negeri, memperkuat kedaulatan data
Dengan biaya yang sangat kecil, pelaku usaha lokal tidak lagi dibebani potongan tinggi. Ini bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga keadilan ekonomi digital.
C. Mengurangi Ketergantungan pada SWIFT dan Sistem Global
Tak hanya soal Visa/MasterCard, Indonesia juga secara bertahap mulai menjajaki alternatif terhadap sistem pengiriman uang global seperti SWIFT. Melalui integrasi QRIS lintas negara (cross-border), Indonesia telah menjalin kerja sama dengan Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina, di mana transaksi lintas negara bisa dilakukan dengan mata uang lokal, tanpa perlu konversi ke dolar AS atau menggunakan jaringan SWIFT. Langkah ini menjadi bagian dari tren global yang lebih besar: dedollarisasi transaksi digital dan desentralisasi sistem pembayaran internasional.
Dominasi AS dalam sistem keuangan global memberikan keuntungan strategis, baik secara ekonomi maupun politik. Maka tidak mengherankan jika muncul kekhawatiran dari pihak AS atas tren ini:
- QRIS dan sistem sejenis (seperti UPI India atau PIX Brasil) memotong peran jaringan pembayaran berbasis AS
- Penggunaan mata uang lokal dalam transaksi lintas negara mengurangi dominasi dolar
- Kontrol data transaksi keuangan tidak lagi berada di bawah perusahaan-perusahaan global
QRIS, meskipun berasal dari negara berkembang, dilihat sebagai bagian dari pergeseran arsitektur keuangan global. Amerika Serikat mungkin belum secara terbuka menentangnya, namun kehadiran sistem seperti QRIS jelas mengganggu status quo yang selama ini menguntungkan kepentingan geopolitik dan ekonomi AS. QRIS bukan hanya alat pembayaran digital, melainkan simbol perlawanan terhadap sistem keuangan global yang timpang. Dengan biaya rendah, kedaulatan data, dan keberpihakan pada pelaku usaha lokal, QRIS menunjukkan bagaimana negara berkembang bisa mengambil alih kendali atas arsitektur keuangannya sendiri — tanpa perlu bergantung pada sistem global yang membebani dan sering kali tidak adil.
Redaktur: Bintang Akira Cahyarini
Follow juga akun sosial media Perkata untuk mendapatkan berita terkini!!!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI