Mohon tunggu...
Ley Hay
Ley Hay Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa Atma Jaya Yogya

love papua nature :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jangkrik Berdesis

23 Juni 2020   03:16 Diperbarui: 23 Juni 2020   03:38 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi indoprogress


Noken yang menggantung dikepala Yubelina Fatem tepat saat langit mulai kemerah merahan akan berganti gelap, suhu tubuh mulai menggigil tatkala angin bertiup dari ketinggian Fomair, sebuah gunung tinggi yang berdiri kokoh di tanah Aifat Timur

Senja sore itu menghantarkan Yubelina Fatem pulang ke rumah, ia bahkan ditemani sekumpulan jangkrik berdesis menuntunnya. Jangkrik terus berdesis, seperti berbisik halus tepat ditelinga Yubelina Fatem, lama kemudian terus berdesis menjadi nyaring hingga merobek telinganya. Bulu kuduknya berdiri seketika, membuatnya langsung menghentikan langkah kaki, ia berfirasat buruk, tetapi tak lama kemudian, ia mengayunkan lagi kedua kakinya hendak melanjutkan perjalanan pulang. Jarak menuju rumah masih separuh perjalanan sehingga membuat Yubelina Fatem harus dahulu tiba di rumah sebelum malam “Akh…tra pusing dengan jangkrik yang bunyi ini” katanya sambil menenangkan diri. Rupanya sekumpulan jangkrik berdesis sedang mempermainkan perasaan Yubelina Fatem, karena bunyi jangkrik itu berirama tak menentu seperti biasanya, cukup membingungkan Yubelina Fatem hingga membawanya pada rasa takut yang dalam, namun rasa hanyalah firasat seorang diri Yubelina Fatem, apapun itu, ia  harus segera pulang.

Memang Yubelina Fatem bukan lagi gadis belia yang kekar, kedua kakinya terlihat rapuh, bola matanya tidak begitu jelas membiaskan penglihatan ketika sore hari, ia hanya berbekal pengalaman karena telah sering melintasi jalan itu sehingga cukup terbantu disaat umurnya kian senja seperti saat ini. Jalan berkelok terus dilewatinya, ia mendaki pulang menembus hutan yang berlimpah ruah akan pohon merbau, jenis pohon yang kayunya tak kalah saing jika dipasarkan. Bukan saja merbau, beberapa pohon dengan jenis kayu terbaik lainnya juga berserakan dihutan itu. Sesering kali masyarakat kampung menebang satu dua pohon untuk dijadikan tiang rumah, mereka sangat tahu jenis kayu yang baik namun tidak melakukan penebangan secara membabi buta, karena hutan diyakini sebagai kekuatan magis, sumber kehidupan dan rumah tempat berlindung. Namun siapa sangka, masuknya perusahaan kayu membuat mereka banyak kehilangan kayu bahkan mereka tidak lagi pamer akan bangunan rumah berkonstruksi kayu mahal karena banyak kayu  telah dinegosiasikan, entah dengan harga mahal atau standar harga yang ditetapkan, tidak tahu ? yang tertinggal adalah hutan semakin menyusut, mata air semakin kering, sukar bertemu merbau, banyak tanaman obat habis dibabat, burung enggan bermain lepas, babi hutan menyelinap masuk ke tapal batas hak ulayat marga lain, semua dikarenakan mereka sedang mencari kenyamanan, tempat berlindung terbaik yang dapat mengobati traumatis batin atas hingar bingar bunyi mesin stihl pemotong kayu, raungan mobil perusahaan yang seenaknya masuk keluar hutan, bahkan pada suara suara mengagetkan seperti tembakan senjata berpeluru runcing yang keluar dari  moncong laras panjang hendak memburui mereka. Memang harga burung bersayap indah seperti cendrawasih bisa menembus harga tinggi, sama halnya babi hutan, dagingnya lezat jika dipanggang bumbu sate cocok untuk santap malam ketika di camp perusahaan.Sementara jangkring berdesis, siapa yang berminat ? sama sekali tidak menjadi buruan pekerja perusahaan, mungkin saja tidak bernilai apapun. Akhh syukurlah… karena sekumpulan jangkrik itu masih dapat melakukan ritualnya kepada Yubelina Fatem, perempuan berdarah Aifat timur bercampur Moskona yang memilih hidup berkebun untuk mempertahankan sisa hidupnya di negeri Ayosami.

Jangkrik berdesis terus menghantar pulang Yubelina Fatem, separuh perjalanan telah berlalu, ia berada pada kontur datar usai melintasi hutan merbau, jarak perkampungan kisaran seratus meter tengah terlihat. Jangkrik berdesis, terus berdesis memainkan suara nyaringnya hingga terdengar di telinga Yubelina Fatem kian menjelma menjadi suara teriakan

“kompensasi yang tidak wajar !”

Saat itu, Yubelina Fatem menghentikan lagi kedua kakinya sembari mengatur nafasnya yang terengah engah, ia memastikan lagi suara itu. Ternyata benar, teriak masyarakat kampung  tengah melalukan protes terhadap pembayaran kompensasi yang tidak sewajarnya oleh perusahaan kayu bernama PT. Wanagalang utama. Telinga Yubelina Fatem jelas mendengar teriakan itu, namun apa adanya, seorang perempuan tua seperti Yubelina Fatem sukar mengartikan kata kompensasi jika dibandingkan dengan orang muda berintelek atau semacamnya, kompensasi berarti semacam pembayaran ganti rugi atas apa yang telah diambil secara berlebihan.

Yubelina Fatem semakin dekat mendekati perkampungan, ia menyaksikan dengan jelas kejadian itu, masyarakat hak ulayat pemilik hutan merbau meminta pembayaran kompensasi namun tidak diabaikan, malah perusahaan dikawal ketat keamanannya oleh brimob hingga akhirnya terjadi perkelahian dan brimob mati dipukul masyarakat. Ini hanya soal pemenuhan hak yang tidak adil sehingga terjadi penuntutan yang kemudian menjadi perkelahian berujung maut. Seorang brimob tewas, masyarakat kampung ketakutan sehingga harus mencari tempat persembunyian di hutan merbau. Penyisiran terus dilakukan oleh aparat negara karena dicurigai mereka kabur membawa senjata milik brimob yang tewas itu. Penyelesaian kasus bukan lagi soal pembayaran kompensasi seperti yang jelas didengar oleh telinga Yubelina Fatem. Pokok konflik berganti judul tanpa menjelaskan detail persoalan. Lagi lagi masyarakat Aifat Timur menjadi korban berlapis. Hutannya dikeruh habis tanpa pembayaran kompensasi yang wajar, ketika menuntut haknya diabaikan, setelah itu disterilisasikan oleh aparat negara.

***

Tepat senja berganti malam, Yubelina Fatem melepaskan noken yang menggantung dikepalanya, ia tengah berada didalam rumah yang beranakan tangga, perlahan ia menghela nafas. Tiada daya jika harus kembali masuk hutan, ia merebah lalu terdiam sembari menatap dinding rumah beranyam lembar sagu yang menggantungkan rosario suci, tatapannya dalam meninggalkan mantra agung layaknya doa dalam khusyuk. Jangkrik berdesis mulai samar dan menghilang membawa hujan kian merata, menyapu bersih semua peristiwa di malam itu.     

Jangkrik Berdesis adalah fiksi tentang pembayaran kompensasi yang tidak wajar kepada Masyarakat pemilik hak ulayat oleh PT. Wanagalang Utama
Fiksi oleh Lovernia Hay
Ilustrasi Gambar : copy paste dari Indoprogress

Fiksi oleh Lovernia Hay

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun