Mohon tunggu...
Perdhana Ari Sudewo
Perdhana Ari Sudewo Mohon Tunggu... Pemulung Ilmu

Pemulung ilmu yang punya hobi menulis, berharap dapat terus belajar dan berbagi melalui ide, gagasan, dan tulisan. Pernah belajar Psikologi dan Administrasi Bisnis waktu di Kampus, dan saat ini berupaya menemukan aplikasi ilmu tersebut dalam kehidupan nyata

Selanjutnya

Tutup

Diary

Ketika Hati Ingin Mengeluh, Tapi Iman Meminta Ikhlas

1 Juli 2025   05:25 Diperbarui: 1 Juli 2025   05:25 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dikreasikan oleh AI

Akan selalu ada orang-orang yang terlihat mudah sekali memperoleh rezeki. Ada yang seolah setiap langkah hidupnya membuka pintu keberuntungan. Bisnis yang berkembang cepat, kekayaan yang terus bertambah, jabatan yang melesat tinggi. Sementara diri ini, meski sudah bekerja sekuat tenaga, hasilnya seakan hanya cukup untuk menyambung hidup dari hari ke hari.

Rasa iri itu datang diam-diam, lalu tumbuh di dalam batin yang sedang lelah. Terkadang muncul suara lirih, "Kenapa bukan aku yang seberuntung itu?" Apalagi saat menyaksikan orang yang baru bergabung, secara kompetensi biasa saja, tapi sudah melangkah lebih cepat dari aspek karier dan jabatan meski kompetensi dan kinerja biasa-biasa saja. Rasanya tidak adil. Bahkan pernah, ketika tanggung jawab diberikan, mereka justru melemparkannya ke orang lain. Dan diri ini mulai mempertanyakan keadilan Tuhan.

Namun di sisi lain, suara yang lebih dalam mengingatkan, "Rezeki adalah rahasia Allah SWT. Tidak semua hal yang terlihat sebagai kemewahan adalah berkah sejati. Dan tidak semua yang terlihat biasa-biasa saja berarti dilupakan oleh-Nya."

Benar. Rezeki bukan sekadar uang atau jabatan. Bisa jadi kesehatan yang kita miliki, keluarga yang utuh, tawa anak-anak di tengah kesederhanaan, adalah bentuk rezeki yang lebih mulia. Ada yang hidup pas-pasan, namun masih bisa tertawa bersama. Sementara banyak yang bergelimang harta, tapi hatinya selalu gelisah dan kosong.

Diri ini pun belajar lagi... bahwa jalan hidup setiap orang berbeda. Ada yang memulai dari limpahan fasilitas keluarga, ada pula yang berangkat dari titik nol. Maka, membandingkan kehidupan kita dengan orang lain ibarat membandingkan benih yang baru ditanam dengan pohon yang sudah puluhan tahun tumbuh. Waktu kita berbeda. Ladang kita pun tak sama.

Akhir-akhir ini, pergulatan batin terasa makin tajam. Ada sisi dalam diri yang ingin memberontak, ingin punya rumah sendiri yang nyaman, kendaraan yang layak, bisa menyenangkan keluarga tanpa harus menghitung setiap rupiah. Tetapi sisi lain dari hati ini terus membisikkan, "Tetaplah sabar. Jangan ingkari nikmat yang ada hanya karena membandingkan."

Betapa sulitnya menjaga hati dari membandingkan. Tapi saya sadar, itulah awal dari ketidakpuasan yang tak berkesudahan. Dunia akan selalu menawarkan hal-hal yang terlihat lebih dari apa yang kita miliki. Kalau kita terus membandingkan, maka tidak akan ada titik puas. Kita akan selalu merasa kurang.

Bukan berarti saya ini orang yang sudah bijaksana. Bahkan untuk sekadar bersyukur saja, saya masih belajar. Anak pernah mengeluhkan mobil kami yang mulai rewel. Ingin rasanya mengganti dengan yang lebih baik, tapi melihat tabungan... jangankan mobil, untuk kebutuhan dasar saja masih harus diatur ketat. Melihat teman-teman punya rumah, liburan ke luar negeri, dan hidup dengan segala kenyamanan, sesekali membuat hati ini bertanya, "Kapan saya bisa seperti itu?"

Tapi pada akhirnya, saya hanya bisa berdoa semoga Allah masih menitipkan keikhlasan di hati ini. Bahwa meskipun rasa minder dan kecewa kerap muncul, saya ingin tetap memilih untuk kuat, sabar, dan menerima. Bukan berarti pasrah, tapi tetap berikhtiar sambil menjaga hati agar tak dirusak oleh keluh kesah.

Hidup memang tidak mudah. Tapi semoga langkah-langkah kecil ini, yang dibangun di atas rasa syukur, keikhlasan, dan kesadaran, tetap dicatat oleh Allah SWT sebagai bentuk pengabdian dan ibadah. Sebab hidup bukan tentang siapa yang paling kaya, paling cepat, atau paling beruntung, tapi siapa yang tetap bertahan untuk berjalan lurus, meski jalannya sempit dan sunyi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun