Saat Suara Tidak Menemukan Telinga
Di sudut sebuah institusi, hiduplah seorang pemikir. Ia bukan pejabat, bukan pula juru bicara, tapi pikirannya tak pernah diam. Sejak 2015, ia mulai merancang peta jalan bagi masa depan lembaga tempat ia mengabdi, membayangkan lahirnya sebuah sistem kaderisasi yang adil dan transparan, membangun tata kelola pengetahuan organisasi, dan menggagas Corporate University dan sistem pembelajaran yang terintegrasi dan kolaboratif di tempat kerja untuk memperkuat SDM agar mampu menghadapi tantangan zaman.
Sayangnya, pikirannya sering terlalu jauh melampaui zaman. Gagasannya kadang dipandang bukan sebagai terobosan, tapi ancaman. Ia sempat duduk dalam forum resmi, menyampaikan keresahan tentang krisis kepemimpinan yang akan datang. Namun jawabannya bukan diskusi, melainkan sunyi. Dan ketika ia tetap berbicara, ia dianggap terlalu keras. Akhirnya, ia tak hanya dikucilkan secara profesional, tapi juga "disarankan" untuk menjalani konseling psikologi, dan itu semua mewarnai kisah lulusan psikologi.
Ketika Kebenaran Tak Dianggap Cukup
Apa yang dialami pegawai tersebut bukan sekadar kisah personal. Ini adalah gambaran dari sesuatu yang lebih dalam, disonansi antara nilai pribadi dan nilai institusi. Carl Jung menyebutnya sebagai benturan dengan shadow, sisi diri yang ditolak oleh lingkungan sosial. Shadow itu bukan kejahatan, tapi kebenaran yang belum diterima. Dan dalam sistem yang lebih mengutamakan harmoni semu daripada perubahan, kebenaran sering dianggap mengganggu.
Dalam struktur birokrasi yang kaku, tampil berbeda dari yang umum bisa dianggap lancang. Mengusulkan sesuatu yang berbeda bisa dibaca sebagai pemberontakan. Sementara dalam batin si pemikir, yang ada hanyalah niat untuk memperbaiki. Tapi ia lupa satu hal, niat baik tidak selalu diterima baik, terutama jika melangkahi urutan hirarki.
Fenomena ini juga bisa dibaca lewat kacamata Abraham Maslow. Ia sedang dalam perjalanan menuju aktualisasi diri, namun tertahan di lorong panjang validasi sosial. Hasratnya bukan untuk eksistensi ego, tapi demi makna yang lebih besar. Namun ia tetap butuh didengar, karena manusia, sekeras apa pun jiwa, tetap makhluk sosial.
Jalan Sunyi yang Tak Banyak Ditempuh
Di titik ini, ia berhenti berharap pada panggung. Ia tahu, beberapa panggung dibangun bukan untuk menyuarakan kebenaran, tapi untuk mempertontonkan loyalitas. Maka ia memilih jalan sunyi, menulis, merenung, dan tetap bekerja. Meskipun ia tidak lagi disorot, tapi hatinya masih menyala. Seperti kata Viktor Frankl, "Barangsiapa memiliki alasan untuk hidup, akan mampu menghadapi bagaimana pun keadaannya."
Jalan sunyi ini tidak kosong. Ia diisi oleh harapan untuk generasi selanjutnya. Ia tahu, bukan dirinya yang penting, tapi warisan ide yang akan tumbuh dalam benak orang lain suatu hari nanti. Saat ini mengusulkan konsep global expert untuk mereka tenaga teknis, bukan ia yang nantinya menjadi global expert itu. Secara pendidikan juga sudah tidak mungkin mendudukin jabatan yang ia perjuangkan itu, tetapi ia yakin masyarakat akan aman jika yang bekerja itu adalah seorang ahli dengan level global. Dalam diam, ia menabur benih. Dalam sunyi, ia tetap berpikir. Dan dalam sepi, ia belajar, kesuksesan sejati bukanlah tentang tepuk tangan, tapi tentang kesetiaan pada nilai-nilai.
"Selama ini kau hebat. Hanya saja, kau tak didengar."