Apakah birokrasi Indonesia hanya soal aturan, struktur jabatan, dan urusan administrasi? Atau sebenarnya ada sesuatu yang lebih dalam, tersembunyi, dan tak pernah benar-benar dibahas? Dalam tulisan ini, mari kita menyelami sisi lain dari birokrasi, bukan sebagai mesin formal, tapi sebagai makhluk hidup yang menyimpan mimpi, luka, dan bayangan kolektif selama berabad-abad.
Warisan dari Masa Lalu: Ketika Kekuasaan adalah Darah dan Takhta
Sebelum kita mengenal istilah ASN atau kementerian, birokrasi Nusantara telah hidup dalam bentuknya sendiri. Di zaman Majapahit, Sriwijaya, dan Mataram, kekuasaan diatur dalam struktur yang kental dengan feodalisme. Raja adalah pusat birokrasi, pusat alam semesta, dan seluruh struktur sosial mengalir dari tahtanya. Bupati, patih, tumenggung, mereka semua bukan hanya pejabat, tetapi simbol dari hierarki sakral birokrasi.
Dalam masyarakat seperti ini, loyalitas bukan pada sistem, tapi pada orang. Kesetiaan pribadi lebih utama daripada peraturan tertulis. Ini adalah warisan pertama dalam lapisan psikis birokrasi kita. Sebuah budaya patron-klien yang masih terasa sampai hari ini, meski dalam bentuk yang berbeda. Dan seringkali disangkal dengan argumen, "saat ini sudah zaman Demokrasi", yang benaaarr?
Penjajahan: Mewariskan Ketakutan dalam Sistem
Datangnya Belanda, Inggris, Portugis, dan Jepang mengubah bentuk birokrasi, tapi tidak menyembuhkan lukanya. Belanda, misalnya, menciptakan sistem pemerintahan yang kaku dan hierarkis untuk mengontrol wilayah jajahan. Rakyat dilatih untuk patuh, diam, dan tidak banyak bertanya.
Pada masa ini, ketakutan menjadi bagian dari ketidaksadaran kolektif birokrasi. ASN zaman sekarang mungkin tidak lagi dihukum karena melawan, tapi bayangan tentang "jangan melawan atasan" atau "diam itu aman" atau "cukup lakukan saja" masih hidup di dalam birokrasi modern. Inipun juga sering disangkal dengan argumen, "ah, itu mah hanya perasaan dan pemikiranmu saja!", meskipun dalam hati ....hmmmmmmm.
Orde Baru dan Persona Ketaatan
Setelah kemerdekaan, birokrasi Indonesia memasuki era baru. Namun, alih-alih menyembuhkan luka sejarah, masa Orde Baru justru memperdalamnya. PNS dididik untuk patuh total pada negara. Kritik dianggap makar. Inisiatif dianggap ancaman. Birokrasi menjadi panggung besar untuk menampilkan persona, sebuah topeng kesetiaan, loyalitas, dan disiplin, meski di baliknya menyimpan kebingungan, ketakutan, dan kekosongan makna.
Di sinilah arketipe dalam ketidaksadaran kolektif birokrasi bekerja. PNS menjadi aktor dalam drama yang berulang, atasan sebagai Raja, bawahan sebagai Abdi, dan sistem sebagai labirin tanpa pintu keluar. Sebutan Abdi Negara dan Pelayan Masyarakat semakin sering terdengar, masuk ke indra birokrat dan mencari ruang dalam ketidaksadaran kolektifnya. Semakin banyak aturan, semakin PNS belajar untuk bertahan, bukan berkarya, apalagi berinovasi.
Reformasi: Janji Perubahan, Bayangan yang Tak Hilang