Transformasi sistem kerja Aparatur Sipil Negara (ASN) yang digaungkan pemerintah melalui PermenPANRB Nomor 7 Tahun 2022 sebenarnya membawa semangat baik, yaitu birokrasi yang lebih lincah, kolaboratif, dan tidak terpaku pada struktur kaku. ASN diharapkan berubah, mampu bekerja fleksibel dalam tim kerja lintas unit, berorientasi hasil, dan saling berbagi peran secara adaptif. Namun, seperti kata pepatah, jalan ke neraka pun bisa diaspal dengan niat baik, atau kebijakan yang dirancang dengan niat mulia pun bisa berakhir buruk jika tidak direncanakan dan diimplementasikan secara hati-hati.
Dalam pelaksanaannya, sistem kerja fleksibel melalui tim kerja justru membuka ruang abu-abu dalam pembagian peran, beban kerja, dan kepemimpinan tim. Penentuan ketua tim kerja, misalnya, tidak diatur secara rinci, dan sepenuhnya dikembalikan kepada pimpinan unit kerja. Masalahnya, tidak semua pimpinan memahami dengan baik dinamika tim kerja non hierarkis dan bagaimana mengoptimalkannya. Banyak yang masih terpaku pada cara lama yang hierarkis dan kaku, menunjuk berdasarkan loyalitas, kedekatan, atau sekadar siapa yang bisa "disuruh". Akibatnya, keputusan pembentukan tim kerja seringkali dilakukan secara sepihak, informal, bahkan intuitif. Belum ada mekanisme yang memastikan bahwa ketua tim ditetapkan berdasarkan kompetensi, tanggung jawab jabatan, kinerja, atau mekanisme untuk memastikan tugas pekerjaan dibagi dengan adil berdasarkan jenjang dan tanggung jawab jabatan. Semuanya dikembalikan pada kewenangan dan ekspektasi pimpinan.
Pegawai dengan jabatan fungsional ahli pertama misalnya, bisa saja ditunjuk menjadi ketua tim kerja dengan anggota ahli madya hanya karena mau disuruh kerja dan tidak berisik. Atau pejabat fungsional ahli muda bisa saja mendapatkan pembagian pekerjaan menyusun dokumen strategis yang seharusnya dikerjakan oleh pejabat fungsinal ahli madya. Sebaliknya, pejabat fungsional ahli madya diberi tugas pekerjaan administrasi yang jauh dari grading jabatan dan kompensasi jabatan yang diperolehnya, dan tentu sudah pasti tidak sesuai dengan tugas dan tanggung jawab jenjang jabatannya. Alasannya klise, agar pekerjaan cepat selesai dan target kinerja tercapai. Tapi di balik itu, muncul ketimpangan, kecemburuan, dan hilangnya makna profesionalisme kerja.
Penugasan Tanpa Ukur: Siapa Dekat, Siap Dapat
Fenomena tersebut merupakan bagian dari sekian banyak problematika implementasi sistem kerja maupun kinerja yang baru dalam manajemen ASN. Penunjukan ketua tim kerja yang tidak mempertimbangkan jenjang jabatan, pangkat golongan, atau kompetensi struktural manajerial sudah menjadi hal yang biasa. Yang ditunjuk adalah yang dianggap bisa kerja cepat, yang nurut, dan yang tidak banyak protes. ASN yang rajin tapi kritis, yang punya kompetensi tapi pendiam, justru dilewatkan atau hanya diberi pekerjaan yang tidak menantang, bahkan tidak jarang malah disebut pembangkang. Semuanya dibenarkan atas nama target kinerja organisasi dan capaian kinerja.
Masalah ini semakin parah ketika melihat bagaimana kinerja ASN dinilai. PermenPANRB Nomor 6 Tahun 2022 tentang Pengelolaan Kinerja ASN menekankan pada dialog kinerja antara atasan dan pegawai, yaitu melalui perencanaan berbasis dialog, peran jabatan, dan kontribusi yang terukur. Namun, dalam kenyataannya, dialog kinerja ini kerap menjadi formalitas belaka, dan peran jabatan kerap dikalahkan oleh selera pimpinan. Pembagian kerja seringkali tidak didasarkan pada tanggung jawab pekerjaan jenjang jabatan, yang penting semua pekerjaan turunan dari setiap indikator kinerja utama organisasi telah dibagi habis ke semua pegawai. Penetapan rencana kerja utama atau tambahan bukan berdasarkan uraian tugas dan tanggung jawab jabatan sesuai jenjang, tetapi mana yang lebih prioritas dan tidak prioritas dihadapan pimpinan. Problem lainnya adalah tidak semua pimpinan memahami sistem ini, sehingga yang ada justru pelaksanaan sistem kinerja seadanya yang penting berjalan. Sistem yang seharusnya menjadi alat meritokrasi justru menghasilkan kontraproduktif, menciptakan ketidaksetaraan struktural yang dibungkam dalam semangat kerja kolektif, dengan jargon akuntabilitas, fleksibilitas, dan adaptif.
Keadilan Kerja yang Kian Mengabur
Dalam ilmu psikologi organisasi, kondisi ini dapat dijelaskan melalui teori ketidakadilan organisasi (organizational injustice) dari Greenberg (1987). Keadilan organisasi mencakup tiga dimensi, yaitu keadilan dalam pembagian hasil dan penghargaan (distributive justice), keadilan dalam penugasan dan proses pengambilan keputusan (procedural justice), dan keadilan dalam komunikasi, interaksi dan perlakuan antar individu dalam organisasi (interactional justice). Ketiganya sering kali terabaikan dalam pelaksaanaan sistem kerja ASN melalui pembentukan tim kerja yang fleksibel. Penunjukan ketua tim kerja, juga penugasan dan pembagian kerja dilakukan tanpa prosedur yang transparan berbasis tugas dan tanggung jawab jabatan sesuai jenjang. Proyek diberikan kepada yang dianggap loyal, bukan kompeten. Beban kerja ditimpakan semena-mena kepada yang diam, bisa kerja, dan tidak berisik, bukan yang seharusnya menangani berdasarkan tugas dan tanggung jawab seusai jenjang jabatan. Pegawai yang mempertanyakan sistem kerap dicap "tidak kooperatif" pegawai "bermasalah" atau "troubelmaker"
Tak heran jika di banyak kantor pemerintahan, kita mulai melihat muncul kecemburuan sosial yang direpresi. Pegawai mulai mempertanyakan keadilan, tetapi tak tahu harus ke mana bersuara. Hubungan horizontal jadi rapuh, karena rasa tidak setara diam-diam menggerus semangat kolektif. Kerja tim berubah menjadi kerja relasional, bukan kerja profesional. Beberapa menjadi hubungan transaksional yang melihat dari untung rugi dari setiap penugasan dan pekerjaan. Membandingkan satu dengan yang lainnya menjadi hal biasa, karena memang kesetaraan level jabatan tidak selalu diikuti dengan kesetaraan beban dan tanggung jawab pekerjaan.
Jika ini dibiarkan, konsekuensinya jauh lebih dalam dari sekadar urusan teknis dan administratif manajemen ASN. Pegawai ASN yang terus diberi beban pekerjaan tanpa pengakuan dan penghargaan akan merasa terasing. Pegawai ASN yang tak pernah diberi peran penting kehilangan rasa percaya diri. Pegawai yang oportunis semakin memikirkan keuntungan pribadi alih-alih kepentingan organisasi dan kepentingan bersama. Pegawai ASN yang kritis mulai merasa tak dianggap. Motivasi intrinsik pegawai ASN hancur, dan muncul menjadi bibit untuk menjadi quiet quitters yang kini pelan-pelan menjangkiti birokrasi, hadir secara fisik, tapi mati secara psikis, dan tidak terikat kepada organisasi.
Dalam kerangka Self-Determination Theory (Deci & Ryan, 1985), motivasi hanya tumbuh jika seseorang merasa berdaya, diakui, dan diberi ruang otonomi. Jika semua dikendalikan berdasarkan selera pimpinan atas nama ekspektasi pimpinan, pegawai akan menganggap dirinya hanya alat, bukan aktor. Profesionalisme pun hanya tinggal nama. Kantor hanya dianggap tempat kerja dan rekan kerja dengan hubungan transaksional, bukan lagi keluarga yang saling menguatkan satu dengan yang lainnya.