Mohon tunggu...
Tebe Tebe
Tebe Tebe Mohon Tunggu... lainnya -

"Hidup itu....Tuhan yang menentukan. Kita yang menjalaninya. Dan orang lain yang mengomentari (kepo)." (tebe)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sayap Ayah

26 November 2013   17:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:39 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1385463877567916341

Sayap Ayah

[caption id="attachment_304587" align="alignleft" width="336" caption="jadiberita.com"][/caption] Namaku Aulia. Aku dibesarkan oleh Ayah sejak diriku masih berusia 5 tahun. Aku hidup berdua. Maksudku aku tinggal dengan Ayah di rumah yang cukup mewah. Di rumah itu tidak ada siapa pun—yang tinggal selain aku dan Ayah sebagai penghuninya.

Mama? Aku tidak peduli lagi dengannya. Apalagi ketika saat itu—dalam usia masih kencur aku dihadapkan oleh pilihan yang membuat dada sesak untuk memilihnya. Terlebih ketika aku ingat sumpah serapah yang dilimpahkan Mama ke Ayah saat itu. Sungguh membuat aku terkejut. Bukan hanya itu Mama serta merta mengusir Ayah dari rumah. Hingga pertikaianitu pun masih menari-nari di benakku hingga sekarang.

Entah, apa dasar Mama mengusir Ayah hingga sekarang akutak tahu. Yang ada saat itu aku harus memilih antara Mama atau Ayah untuk tinggal bersamanya.

”Aulia sekarang Mama pinta sama kamu! Silakan kamu mau memilih ikut Mama atau Ayah.” Begitu pinta Mama saat peristiwa yang tak aku mengerti menghinggap diriku. Entah, aku harus memilih tinggal bersama Mama atau Ayah saat itu.

Aku dilema saat itu. Gugup tak menentu.

”Aulia, kamu anak Mama satu-satunya silakan pilih Mama atau Ayah? Cepat!” lanjut Mama menggertakku hingga aku tersontak terkejut.

”Marni, kamu sebagai ibunya jangan kasar terhadap anakmu itu! Ia masih belia tak tahu tentang apa yang kita alami sebagai orangtuanya.” Dalam kedilemaan aku mendengar Ayah angkat bicara. Aku mengisak. Mengatur nafasnya yang tak berirama.

”Baiklah, Aulia akan memilih Ayah! Aulia sayang Ayah. Mama jahat! Mama sudah memarahi Ayah. Aulia tidak suka, Mama!” teriakku saat itu sambil meninggalkan mereka di ruang tamu. Dan aku menuju kamarku sambil menumpahkan airmata. Entah, aku harus senang atau gembira ketika memutuskan pilihan itu. Tapi aku tak ada pilihan selain memilih.

”Nah, kamu dengarkan apa yang dikatakan oleh Aulia ia sendiri memilih aku ketimbang kamu!”

”Lelaki tak tahu diri keluar kamu dari rumah ini! Bawa Aulia dari rumah ini. Jangan kamu tampakan wajah serta rupamu di depanku!” samar-samar aku mendengar Mama kembali mengusir Ayah. Ternyata bukan hanya Ayah saja tetapi diriku pula. Aku harus angkat kaki dari rumahku sendiri.

Dan kini aku sudah menetapkan pilihanku.

Namaku Aulia. Sekarang selain sebagai anak aku juga sebagai pengganti Mama buat Ayah. Dan aku harus berbakti sebagai anak kepada orang yang selama ini melindungiku? Itulah pilihanku! Danitu terus aku jalani biar bagaimanapun terjadi. Bagikuaku harus bisa membahagiakan Ayah.

“Aulia....Aulia....anak Ayah dimana kamu?” tiba-tiba aku mendengar Ayah memanggil diriku. Aku seka airmataku yang sudah menganak sungai kecil di wajahku yang ayu di dalam kamar. Lantas aku mematut diri di cermin. Aku bersihkan semua airmata di pipinya. Itu semua dilakukannya agar Ayah tak mengetahuikalau saat itu aku usai menangis.

Namun sebelum menuju panggilan itu aku lebih dahulu menaruh foto yang sempat meninggalkan tetesan air mata di kelopak mataku. Foto ketika aku masih bersama Mama dan Ayah menyatu. Dan foto itulah yang membuat aku menangis rupa.

“Aulia siapkan Ayah air panas! Ayah mau mandi, cepat!” seru Ayah memerintahkanku usai tiba di ruang tamu dengan sempoyongan.

Namun sebelum Ayah jatuh terselungkup ke lantai aku langsung menghampiri Ayah untuk memapahnya. Lagi-lagi saat memapah Ayah aku kembali mencium bau alkohol yang menyengat. Aku tak tahan dengan bau minuman durjana itu.

“Marni....Marni...kaukah itu? Aku rindu kamu, Marni! Maafkan aku Marni! Aku memang lelaki pencundang. Suami tak berbudi. Tapi aku sangat mencintaimu,” ceracau Ayah saat itu. Dan kembali aku menelan kepedian saat Ayah siuman dari minuman durjana itu. Entah, kuheran disaat Ayah siuman dari pengaruh minuman durjana seperti aku menelan kepedian. Begitulah kala Ayah dimabukan oleh minuman itu. Dan saat Ayah siuman ia seperti sedia kala. Tak merasa bersalah atau untuk disalahkan.

Selalu begitu. Namun aku tak bisa berbuat banyak terlebih ketika kuketahui bahwa Ayah masih sangat mencintai Mama. Dan selama aku tinggal bersama Ayah tak satu pun perempuan yang masuk ke rumah. Ayah tak pernah membawa seorang perempuan apa pun. Dan itu benar aku buktikan. Ternyata Ayah sangat setia dengan Mama. Ayah tetap setia. Halnya aku setia menjadi anak sekaligus pengganti Mama setiap Ayah menginginkan diriku. Aku pun tak menyesali itu! Walau ada raut penyesalan kelak nanti. Tapi untuk apa aku sesali? Toh, semua terjadi karena keadaan yang memaksaku harus berbuat demikian ketimbang Ayah melacurkan diri kepada perempuan di luar sana.

Namaku Aulia. Aku seperti biasa. Aku harus tetap tegar walau apa pun yang terjadi terhadapku. Aku harus kembali berjibaku dari pekerjaan segala rumah tangga. Menyuci pakaian. Meneriska. Membereskan rumah serta menyambut Ayah pulang kerja. Hingga sampai ia membutuhkan aku sebagai selimut malamnya. Itu aku lakukannya agar bisa berbakti kepada Ayah yang selama ini sudah mengurusi diriku hingga sampai lulus kuliah. Dan aku tahu bagaimana cara berbakti kepada orang yang sangat melindungi aku.

Pernah, suatu hari saat aku kuliah ada seorang teman pria mendekatiku. Ia ingin mengikat hubungan lebih serius kepadaku. Arya begitu nama laki-laki yang begitu sangat mencintaiku. Apalagi sejak aku menjadi adik kelas lelaki berkacama minus itu. Tapi aku menolaknya untuk mengikat hubungan itu lebih lanjut ke jenjang pernikahan. Aku memilih tinggal bersama Ayah. Walau aku harus kembali seperti sedia kala. Menemani malam-malam untuk Ayah jika lelaki itu menginginkan diriku Dan aku harus siap melakukan demi agar Ayah bisa bahagia seusai berpisah dengan Mama.

”Kenapa kamu menolak aku, Aulia? Bukankah aku sudah berjanji bahwa akan setia mendampingimu selalu. Halnya kamu setia menemani Ayahmu tua bangka itu,” ucap lelaki itu yang begitu menaruh hati kepada Aulia/

”Maksud kamu, Arya! Jangan samakan aku dengan perempuan lain. Aku ini bukan perempuan pelacur yang kamu bilang seperti itu!” tukasku. Aku seperti memegang sekam.

”Kalau tidak begitu kenapa kamu menolak cintaku. Dan kamu tidak mau menjadi istriku?!” jawab kembali lelaki itu. Lelaki itu mencari alibi.

Plakkk!

Tiba-tiba terdengar suara tamparan. Jelas. Keras. Dan itu membuat aku semakin murka..

”Keluar kamu dari rumahku! Jangan lagi kamu menampakan batang hidung kamu apalagi menghubungi aku. Aku muak dengan segala tingkahmu. Pergi dari rumahku. Cepat keluarrrrrrrrrr......!” seruku mengusirnya. Dansaat itu suaraku meninggi.

Lelaki yang ada dihadapanku. Maksud aku seorang teman kampus bernama Arya yang sangat menaruh hati kepadaku kini hanya membatu. Lambat laun laki-laki itu keluar dari rumahku dengan tangan hampa. Nihil ia tak bisa menaklukan hatiku. Aku pun langsung menuju ke kamarku. Aku menangis sebisaku. Aku tak tahu apakah yang kulakukan itu benar atau salah. Aku tak punya pilihan lain. Aku sungguh dilema. Seperti ketika aku dilema harus memilih Mama atau Ayah. Ayah yang selama ini sudah memberikan segala perlindungannya untuk. Hingga makin lama makin kumerasakan rasa kasih yang berbeda kepada Ayah. Dan itu terbukti kertika beberapa kali aku melakukannya seperti biasa—dengan Ayah. Dimana saat Ayah kembali dipengaruhi oleh minuman durjana itu. Aku seperti benar-benar dilindungi oleh sayap yang selama kuimpikan. Sayap penuh kehangatan yang tak terkira. Aku tak bisa mengelak hal itu. Dan begitulah yang ada aku rasakan selama ini.

Namaku Aulia. Aku tetap memilih Ayah sampai kapan pun. Aku tak memilih siapa pun selain Ayah. Apalagi aku harus memilih Arya seorang teman kuliah yang ingin menautkan hatinya untukku. Apalagi ia sebagai lelaki sudah terlalu jauh mencampuri urusanku kepada orang yang selama ini aku hormati sekaligus menjadi sadaranku. Sadaran ketika aku membutuhkan kehangatan. Walau seusai itu kepedihan menapakanku kembali.

Namaku Aulia. Sekarang aku tahu arti kasih sayang sesungguhnya. Kasih sayang yang selama ini tak pernah aku dapati. Sekarang aku sudah mendapatinya dari Ayahku sendirisekaligus sadaran hidup. Aku begitu amat bahagia.

Dengan Mama? Tentunya aku tak sebahagia ini jika kutinggal bersama Mama. Ternyata pilihan aku memilih Ayah adalah sudah garis ketentuan Tuhan dalam hidupku. Aku tak berhak menolak itu apalagi mengelaknya

”Aulia...Aulia...dimana kamu? Ayah pulang. Sediakan air panas buat Ayah mandi.”

Sekarang tugas itu sudah kembali memanggilku.[]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun