Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kerumunan Penulis Harus Menjadi Kekuatan

10 Oktober 2019   07:14 Diperbarui: 10 Oktober 2019   11:35 656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menulis| Sumber: Pixabay

Apa kabar Kompasianer semua di mana pun Anda berada? 

Jadikan menulis sebagai kekuatan! 

Saya mendengar penduduk Kompasiana sudah mendekati angka setengah juta jiwa, ya mungkin di sekitaran 400 ribuanlah. Jika ini benar adanya, maka si empunya rumah (akun) di dalamnya sudah hampir sebanyak penduduk Suriname, Luksemburg atau Macau. 

Apalah artinya jumlah... Ya sangat berarti dong, karena angka atau jumlah adalah nilai berita jika dipandang dari sisi jurnalistik.

Tetapi, jumlah yang besar saja tidak cukup menghimpun kekuatan. Menulis, di mana para Kompasianer beraktivitas di Kompasiana, adalah pekerjaan otak tinimbang otot. 

Pekerjaan otot sangatlah terukur, bisa diukur menggunakan timbangan. Pekerjaan otak dalam hal ini menulis? Sangat tidak terbatas. Tidak ada ukurannya, tidak ada batasnya, tidak ada timbangannya.

Bayangkan, jika seorang penulis saja sedemikian kuat memengaruhi pembacanya, menyedot perhatian publik dan menjadi panutan yang baik, apalagi dengan jumlah setengah juta penulis itu. 

Tentu saja yang ingin saya katakan, setengah juta penulis itu adalah kekuatan. Kekuatan sangat besar. Dengan keragaman latar belakang penulis yang tertuang dalam berbagai jenis dan tema tulisan, tidak bisa dibayangkan bagaimana para penulis ini memengaruhi para pembacanya masing-masing. 

Ibarat prasasti batu yang ditulis pada masa lalu, maka tulisan Kompasianer juga akan ternukil dalam ujud digital, abadi, yang hanya terhapus jika Internet menemui ajalnya.

Tetapi, apakakah Internet akan menemui ajalnya? Boleh jadi ya, tetapi itu setelah ada "pengganti" Internet lainnya yang kita belum tahu ujudnya seperti apa. Yang ada, manusia berlomba-lomba meningkatkan kecepatan membuka, mengunduh, mengunggah dan mengirimkan data se-seketika mungkin. 

Internet tetaplah Internet seperti sekarang ada. Nah, selagi Internet Anda, maka tulisan para Kompasianer di Kompasiana yang bekerja di ranah Internet akan tetap ada.

Bagaimana kalau Kompasiana mati? Jaga, jangan sampai mati!

Boleh jadi semua kematian akan berpangkal pada Tuhan YME, Allah SWT. Iya kalau itu makhluk bernyawa, makhluk hidup. Tuhan yang mengadakan, Tuhan pula yang meniadakan. Tetapi kalau Kompasiana? 

Kehidupannya ya tergantung pada para pengelolanya, para penulisnya, para pembacanya. Selagi para pemangku ini bersepakat untuk tetap menghidupkan Kompasiana, ya Kompasiana akan tetap ada.

Sudah banyak para penulis jebolan Kompasiana yang kalau kata orang Sunda sudah "moyan", terkenal dan hidup dari menulis. Dari menulis, turunannya bisa apa saja. Silakan sebutkan sendiri...

Ini adalah era narasi, era bercerita, sebuah ujud kebudayaan literasi tutur yang sebenarnya sudah melekat sejak orangtua kita bercerita tentang fabel, kisah-kisah heroik, kisah para pemberani, kisah para nabi. 

Cerita bisa menenggalamkan berita kalau kemasannya itu-itu saja, kaku dan tidak ada inovasi, tidak ada terobosan. Padahal yang harus dicoba, buatlah berita faktual seolah-olah penulisnya (wartawan) bercerita kepada pembacanya, menyampaikan laporannya. 

Berceritalah tentang pemikiran dan opini, sehingga pembaca tidak seperti membaca laporan yang kaku dan tidak menarik, minim drama, minim karakter, minim konflik. Padahal, dalam sebuah tulisan unsur-unsur penting dalam sebuah narasi seperti plot, karakter, konflik, drama dan resolusi harus ada. 

Barangkali ini yang dilupakan para wartawan arus utama mengapa tanpa disadarinya pembaca beralih ke tulisan-tulisan warga yang lebih hidup. Nah, di sinilah kesempatan itu harus diambil dan itu ada di tangan para Kompasianer!

Mengapa pembaca sekarang yang sebagian besar netizen (warganet) lebih menyukai tulisan para buzzer, influencer atau key opinion leader? Karena unsur story telling-nya itu. 

Dalam satu titik, wartawan dari media arus utama, bahkan media besar sekalipun, akan cemburu dengan kekuatan yang dimiliki warga biasa ini. Mereka kedodoran. Alih-alih membuat laporan investigatif yang memikat pembaca, malah sibuk bernarasi untuk memberangus para penulis warga pengisi konten media sosial di Internet itu.

Ini kesalahan yang luar biasa fatalnya dari sebuah institusi media arus utama, seolah-olah dunia menulis adalah urusan mereka semata, hak istimewa yang tidak boleh orang lain melakukannya. Mereka lupa tentang dunia literasi yang sudah berubah.

Kesempatan ini harus tetap diambil Kompasianer sebaik-baiknya dengan segala kekuatan dan kelebihannya.

Salam....

Tasikmalaya, 10 Oktober 2019

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun