Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Mengajar Menulis 4] "Storytelling" yang Menggelinding

1 Desember 2018   18:21 Diperbarui: 1 Desember 2018   18:33 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kenapa? Sebab pembacanya seolah-olah mendengar cerita atas sebuah peristiwa yang dituturkan si wartawannya! Nah, ada keintiman di situ, ada kedekatan yang hangat antara penulis/pelapor dan pembaca.

Juga jangan salah. "The Asia Wall Street Journal", "Le Fifaro" dan "Newsweek" saya dulu wajib saya baca, menggunakan teknik "Storytelling". Majalah "Pantau" yang kini sudah tiada, juga menggunakan penulisan gaya bertutur kata ini.

Ini pengalaman saja, ketika berita yang sifatnya "straight news" tabu dimasuki (atau diracuni), saya putar otak menggunakan "Storytelling" ini saat saya membuat sosok atau "Feature" news yang lebih longgar. Saya menempatkan diri sebagai pelapor yang menceritakan kisah, orang atau peristiwa yang saya laporkan. Dan lolos!

Tetapi itu tadi, pikiran saya selalu "out of the box", mengapa hal itu tidak bisa diaplikasikan dalam penulisan berita-berita "straight news"? Bukankah tidak ada aturan yang dilanggar dalam hal ini?

Okay, ketika sebuah ide nyeleneh tidak diterima, itu biasa dalam pergaulan dan organisasi, jangan diambil hati. Yang jelas, jika orang tidak mau makan ide kita, ya kita makan sendiri saja ide itu. Itu sebabnya saya mengaplikasikan gaya "Storytelling" di media baru yang sedang saya bangun sebagai sebuah eksperimen, yaitu artikel, opini, bahkan berita menggunakan teknik "Storytelling".

Karena ternyata "Storytelling" juga sedang menjadi tren sebagaimana dilakukan Dahlan Iskan dalam setiap tulisan-tulisannya, saya tidak perlu berterori-teori lagi, karena "Storytelling" sudah menjadi keseharian saya dalam menulis.

Kalaupun saya harus berbagi ilmu (sharing) tentang teknik menulis "Storytelling" sebagaimana yang saya sampaikan kepada anak-anak muda pesantran penggiat media Nahdlatul Ulama beberapa hari lalu di Puncak, Bogor (lihat foto piagam penghargaan), saya tetap menyiapkan diri dan meng-update materi yang akan saya sampaikan, khususnya dengan contoh-contoh mutakhir dan kekinian.

Demikian juga untuk pelatihan menulis "Storytelling" bagi para wartawan lingkup PWI (bekerjasama dengan Pertamina) di Bali dan Pekanbaru pekan-pekan mendatang, saya sudah menyiapkan amunisi untuk keperluan itu.

"Write it Right!"

(Bersambung)

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun