Waktulah yang membuat kami, anggota rombongan dari Indonesia, lekas akrab dengan sosok Cao Lang yang sejatinya perempuan pemalu. Ia tidak banyak cakap, lebih sering memelototi ponselnya. Tetapi kalau diajak bicara, ia sigap dan penuh perhatian.
Saya pribadi lebih sering mengajaknya becanda, biar tidak jenuh. Tetapi kadang hal-hal berat saya tanyakan juga. Misalnya soal agama yang tidak ada kaitan langsung dengan pekerjaannya.
Saat berada di Museum Shenzhen, misalnya, saya bertanya tentang hal-hal berat yang bersifat pribadi, ya tentang agama itu tadi. Jujur, saya ingin membedah pikiran Kris alias Cao Lang ini soal agama, sebab konon orang Tiongkok tidak percaya Tuhan. Terlebih lagi, saya ingin tahu apa pegangan hidupnya kalau dia tidak beragama.
"Jadi agamamu Budha seperti diorama itu, Kris?" tanya saya agak kurang ajar saat berada di diorama kaca yang menggambarkan sekelompok orang Tiongkok penganut Budha. Kris menjawab, "Bukan."
"Jadi?" tanya saya.
"Saya tidak beragama," katanya. "Kamu mungkin tahu istilah 'atheis', dan itulah saya. Saya tidak percaya Tuhan, tapi saya percaya Budha."
"Jadi kamu menganggap Budha itu Tuhan? Katanya kamu tidak percaya Tuhan!?" tanya saya.
"Oh tidak, Budha adalah manusia. Dia Sidharta Gautama. Saya suka pemikiran dan jalan hidupnya."
"Jadi way of life yang kamu pegang apa dalam kehidupan sehari-hari jika Tuhan saja kamu tidak percaya?"
Agak bingung Cao Lang menjawabnya. Namun sesaat kemudian, "Kalau soal pegangan hidup, negara juga sudah memberi kami pegangan hidup."
Baiklah. Cao Lang selama keberadaan saya dan rombongan kecil di Tiongkok telah memberi pemahaman baru soal cakupan Huawei sebagai sebuah perusahaan raksasa, yang bahkan telah melahirkan pekerjaan baru bernama "mobile receptionist".