Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Mengapa Saya Hengkang dari Palmerah ke Kemang?

2 Januari 2017   22:53 Diperbarui: 4 Januari 2017   09:55 11849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. TransplantBuddies.com

Tetapi saya sesungguhnya ingin mengatakan; bisnis media tetap bisa jalan tetapi cara penyebaran sekaligus jualan kontennya itu yang harus diperbaiki. Dan saat media shifting perlahan-lahan dilakukan, maka ujung tombaknya adalah bisnis aplikasi digital di belantara Internet. Tidak usah menangisi turunnya cetak, toh saya punya keyakinan seturun-turunnya oplah cetak, dia tidak akan mati begitu saja. Buku cetak saja masih ada kendati sudah ada buku digital, bukan? Persoalannya adalah, bagaimana melakukan media shifting itu dengan baik di saat bersamaan tetap memelihara pembaca cetak. Ini sebenarnya yang ingin saya sampaikan; "Ubahlah paradigma dengan menjadikan IT sebagai backbone kalau berniat masuk ke bisnis media digital, apalagi platform untuk jualan konten!" 

Dalam bisnis digital, akuisi pengguna (users acquisition) adalah katakuncinya. Kalau punya media dan sekian juta orang membaca media itu, berarti ia belum melakukan users acquisition. Boleh jadi masih menarik perhatian pemasang iklan. Tetapi jutaan pembaca bisa beralih karena sejatinya mereka adalah swinging reader, pembaca yang mudah berayun tanpa ikatan apa-apa, beralih ke lain hat bernama media sosial. 

Bolehlah saya katakan, "sehina-hina"-nya Kompasiana di mata para nyinyiers, dia secara organik dan tersistem sudah melakukan akuisi penggunanya. Valuasinya adalah 350.000 penulis dengan 15-20 juta pengunjung setiap bulannya, plus 50 juta halaman yang dibaca! 

Silakan bikin media baru, lalu tanya pada diri sendiri; apa kira-kira valuasinya? Seberapa berharganya media itu? Bagaimana cara melakukan akuisisi penggunanya? Dan yang lebih penting lagi; apakah yang dibuat itu media atau aplikasi!? Jika belum siap menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana ini, urungkan saja niat bikin media atau paling tidak tunda dulu peluncuran produk media itu sebelum sempurna benar. Coba balik paradigma bahwa yang dibuat itu adalah aplikasi, bukan media. Membuat aplikasi, IT yang maju menjadi tulang punggung. Bahkan saya berani mengatakan, jika platform web sudah sedemikian sempurna dengan mengakuisisi penggunanya secara tidak terbatas (scalable) macam Facebook dan Google, admin/redaksi tidak diperlukan lagi!

Apa yang saya dan kawan-kawan bikin, yakni platform berbagi pengetahuan, pengalaman dan wawasan bernama Selasar, bisa saja keliru dan gagal meski dalam menerapkan akuisisi pengguna secara tidak terbatas. Tetapi saya yakin, membangun platform itu tidak sekali jadi. Lihatlah Facebook yang memiliki akun 1,3 miliar itu, sampai saat ini dia belum berhenti berinovasi. Selalu ada penyempurnaan setiap ada perkembangan.

Meskipun gagal dan jatuh, namanya usaha hanya memiliki dua kemungkinan; gagal atau berhasil. Tetapi jika Selasar berhasil karena memiliki keunikan tersendiri, karakteristiknya yang mengakuisisi pengguna secara tidak terbatas, dan bermanfaat bagi para penggunanya, maka keputusan itulah yang membuat saya meninggalkan Kompasiana yang sudah besar dan mandiri untuk kemudian mengasuh serta membesarkan Selasar yang sebagian darinya adalah milik saya sendiri. 

Untuk itulah mengapa saya berpindah dan hengkang dari Palmerah ke Kemang setelah 26 tahun mengabdi.

***

Bintaro, 1 Januari 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun