Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Pahami Relativisme Budaya, Modal untuk Saling Menghormati

9 Januari 2015   16:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:29 1570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1420778740784221219

Benar ada argumen Barat yang sering terlontar bahwa hendaknya "kartun balas kartun", "tulisan balas tulisan", atau "ejek nabi balas ejek nabi". Dalam konteks ini saya yakin, para penggiat kartun itu sebenarnya sedang menantang dan sedang mencari musuh, mereka sedang menyulut api dengan minyak yang mudah terbakar. Mengajak (atau tepatnya) memaksa orang lain pandai menulis atau menggambar kartun, sama tidak bijaknya. Lagi pula, dalam pandangan Islam, ada nabi-nabi yang sangat dihormati (termasuk Nabi Isa atau Yesus), yang tidak mungkin dinistakan dalam bentuk kartun, film atau dalam bentuk tulisan.

Orang beragama dari Timur bisa saja membalas dengan kartun yang menggambarkan bahwa "holocaust" itu tidak pernah ada dan hanya khayalan belaka (ini sangat menyakitkan hati untuk Barat), tetapi itu bukan soal keyakinan, itu lebih kepada sejarah kemanusiaan saja. Terlebih lagi, kaum beragama tidak melakukannya. Mereka paham, itu sangat menyakitkan!

Bagi saya, "wa bil khusus" kepada peradaban Barat atau mereka yang memuja rasionalitas, lebih baik menjadi bintang di langit, yang walaupun panasnya tidak sampai ke bumi dan tidak pula sampai menghangatkan tubuh, tetapi kerlip bintang-gemintang di langit itu telah memperindah malam gulita, bahkan sering berguna sebagai penunjuk arah.

Catatan ringan ini hadir sebagai penghormatan kepada 12 orang yang tewas tanpa perlawanan, tanpa persiapan dan tidak dalam konteks berperang. Itu sebabnya saya tidak ragu menyebut para pelakunya sebagai teroris pengecut, bukan orang-orang pemberani. Ke depan, ciptakan suasana teduh dan damai yang mencegah orang-orang itu mengangkat senjata lagi dan memuntahkan peluru di sembarang tempat, ke sembarang orang-orang.

Salam....

Palmerah Barat, 9 Januari 2015


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun