Mohon tunggu...
Peny Wahyuni Indrastuti
Peny Wahyuni Indrastuti Mohon Tunggu... Wiraswasta - Ibu Rumah Tangga yang berjuang melawan lupa

Ada kalanya, hati menunjukkan sisi terang. Ada kalanya pula bersembunyi pada sisi gelap. Hanya mantra kata yang bisa membuatnya bicara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepotong Mantra

1 Februari 2019   17:46 Diperbarui: 1 Februari 2019   18:13 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wajah lugunya seperti gambar senja di langit. Indah tanpa pernah bisa dijabarkan dengan kata-kata.

Tak henti jemarinya meremas satu sama lain. Galau sudah mencapai tingkat dewa jika demikian.

Ada air mata. Ada kesedihan.

"Mas minta maaf, Ayas." 

Lelaki muda berhidung mancung dengan rambut sedikit gondrong, memeluk Ayas yang menggigil dan tak henti berurai air mata. Ingusnya meliar, ia usap sekenanya di lengan dan juga kerah bajunya. Tak peduli apa kata lelaki muda yang selama ini menjadi separuh jiwanya.

"Mas tak ingin jadi anak durhaka. Semua Mas lakukan demi bakti kepada orang tua."

Telinga perempuan muda berparas manis itu seperti penuh dengung suara lebah. Ia hanya mendengar kata lelaki itu seperti serpihan roti yang remuk di dalam plastiknya.

"Percayalah, jika kita berjodoh, kelak kita akan bersatu kembali. Seperti temanku, yang bersatu kembali meski mereka sudah berstatus janda dan duda."

Kemudian semuanya hening, tertinggal napas yang menyesak sebab hati terpatah oleh kepergian kekasih yang menikah dengan perempuan pilihan orang tua.

Kalimat itu menjadi sepotong mantra yang ia simpan di dalam kotak terdalam hatinya.

Harapan digantung, meski terkesan seperti sebuah ilusi.

........

Purnama singgah di atas atap entah sudah berapa puluh bulan.

Kini wajah lugu Ayas sudah seperti kembang layu, berkerinyut dan nyaris luruh.

Ia duduk tenang di bangku taman di tengah kota, tempat yang sama ketika ia harus merelakan kekasihnya menjadi milik perempuan lain.

Gempita reuni menyisakan sedikit kisah dan pesan, meski Ayas tak pernah menghadiri reuni-reuni itu.

Seorang sahabat berkabar agar dirinya mau menemui mantan kekasihnya di taman itu pada hari dan tanggal sekarang ini.

Mula-mula ia gamang, tapi ia mengerahkan keberaniannya untuk menemui kekasih yang baginya tak pernah menjadi mantan.

Dan kini, di sampingnya, lelaki berhidung mancung dengan rambut dipotong cepak, sudah beruban dan sesekali mencuri pandang, duduk manis sambil terus menatapnya.

Apa kabar, Mas? Ayas mengambil inisiatif memecah keheningan di antara mereka.

Sejak tadi lelaki itu hanya diam, menatap Ayas seolah hendak melahap kerinduan yang mengerak, setelah memberi tanda kepada seorang bujang yang mendampinginya untuk meninggalkan mereka.

Tangannya berusaha meraih tangan Ayas. Tertatih meletakkan di pipinya, sementara air mata luruh dari mata yang selalu Ayas kagumi keindahannya.

Untuk sesaat kedua makhluk itu larut dalam kesedihan.

"Kenapa, Mas? Adakah hari ini dirimu akan memenuhi janji?" 

Tak sabar ia pun menebak, sebab menurut kabar dari temannya, lelaki ini sudah menduda, istrinya meninggal karena kanker.

Ayas menunggu jawab, tapi kemudian terperangah.

"Aa..uu...." Lelaki itu berusaha sekuat tenaga untuk bicara. Tapi tetap saja tak dapat dipahami apa yang ia bicarakan.

Ayas mengerti dan cepat menguasai diri dari keterkejutan. Perlahan ia elus lengan lelaki yang kini terkulai di perutnya. Ia benahi letak selimut yang menutup pangkuan lelaki itu sebisanya.

Lelaki yang 'selalu' menjadi kekasih hatinya, yang ia tunggu dengan keperawanannya sampai hari ini, bukan lagi lelaki gagah, lincah, dan pandai bicara seperti dulu.

"Aku mengerti, Mas. Kali ini stroke merampas kesempatan kita untuk berjodoh. Aku tak akan bisa merawatmu dalam kondisiku yang juga payah sepertimu,"gumamnya. 

Ia elus lagi pipi lelaki itu dengan satu tangannya yang masih bisa digerakkan, dan meninggalkan kecupan lembut di ujung hidung lelaki yang sangat dicintainya itu.

Kemudian ia panggil bujang pendamping yang berdiri tak jauh dari mereka, menyerahkan kursi roda dan membiarkan wajah lelaki itu bersimbah air mata lagi.

Ayas pergi dari tempat itu dan tidak menoleh lagi, menyeret kaki pincangnya dan mengeratkan dekap satu tangannya yang lumpuh layu, sedang satu tangannya lagi mencengkeram penyangga tangan segitiga.

Ia membiarkan angannya bergulir bersama udara yang kian dingin. Mengikat erat rasa cintanya kepada lelaki itu dalam kenangan yang membatu. 

"Cinta tak harus memiliki..., cinta tak harus memiliki...."

Mendengung dalam hatinya seperti zikir yang tak pernah usai.

End

Rumah Sunduk Sate

Sidoarjo, 1 Pebruari 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun