Mohon tunggu...
Peny Wahyuni Indrastuti
Peny Wahyuni Indrastuti Mohon Tunggu... Wiraswasta - Ibu Rumah Tangga yang berjuang melawan lupa

Ada kalanya, hati menunjukkan sisi terang. Ada kalanya pula bersembunyi pada sisi gelap. Hanya mantra kata yang bisa membuatnya bicara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cemburu] Langit Bertasbih

4 November 2018   16:18 Diperbarui: 4 November 2018   16:56 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Azan Maghrib sudah lewat beberapa menit yang lalu. Araya sudah memakai mukenah yang baru ia setrika siang tadi. Duduk diam beralas tikar pandan kesayangan, ia lantunkan salawat dalam hati. Biasanya lima menit kemudian, ia akan mendengar suara pagar dibuka, dan sepeda motor diparkir di garasi. Dan ia akan bergegas membuka pintu, menyambut Guntur, lelaki 40 tahunan yang sudah sepuluh tahun ini menjadi suaminya.

Sampai masjid menyuarakan anak-anak yang belajar mengaji, pintu pagar tak terdengar deritnya. Dengan lunglai Araya salat sendiri. Khawatir waktu salat Isya' segera masuk.

Rumah yang sepi tanpa canda tawa dan tangis anak, semakin sunyi ketika sampai dentang jam mengentak sepuluh kali yang ditunggu tak juga menampakkan batang hidungnya.

"Ke mana abang Guntur? Tak biasanya ia tak berkabar jika terlambat pulang," gumamnya sambil bolak balik mengintip ke luar melalui tirai.

Araya mengambil hape dan mencoba menghubungi suaminya. Tetapi tak berhasil menghubungi karena selalu ada jawaban nomor yang dituju berada di luar area.

Setan-setan dalam dada mulai memperdengarkan nyanyiannya. 

"Pasti Guntur sedang bersama istri mudanya. Bukankah sudah sepuluh tahun pernikahan tapi kau tak bisa sekali pun menumbuhkan benih di rahimmu?"

Araya menarik napas panjang. Ia berusaha mengibas suara itu. Tapi terus saja setan-setan itu menjentik hatinya.

"Ibu mertua bahkan saudara-saudara iparmu, sudah mengatakan padamu, kan, kalau kau itu mandul?"

Ia rebahkan tubuh mungilnya di sofa. Rambut ikal sebahunya ia biarkan kusut masai diterjang kegalauan tangannya.

"Tidak...., aku tidak mandul," erangnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun