Mohon tunggu...
Dodi Mawardi
Dodi Mawardi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Writerpreneur, Pendidik, Pembicara

Penulis kreatif sudah menghasilkan puluhan buku, antara lain Belajar Goblok dari Bob Sadino dan Belajar Uji Nyali dari Benny Moerdani. Selain aktif menulis, juga sebagai dosen, pendidik, dan pembicara bidang penulisan, serta komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menanti Lambaian Tangan Seorang Presiden

18 Agustus 2020   20:22 Diperbarui: 19 Agustus 2020   04:49 842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kolase berbagai sumber

Jam 6 pagi, saya sudah berdiri di pinggir jalan. Kadang sudah mandi, lebih sering belum. Ibu saya tak pernah tahu, kenapa setiap hari Minggu pagi saya bergegas ke jalan depan rumah. Mungkin sampai sekarang. Saya menantikan lambaian tangan seorang presiden...

Kebiasaan itu saya lakukan selama bertahun-tahun, sejak kelas 1 sampai kelas 6 SD. Jarak dari rumah ke jalan, sekitar 100 meter saja. Dekat. Rumah saya masuk gang selebar satu kendaraan roda empat. Persis di samping sebuah sekolah dasar inpres. SD tempat saya belajar sampai lulus.

Saya kecil, selalu berharap bisa mendapatkan lambaian tangan seorang presiden, yang rutin melewati jalan depan rumah. Presiden Soeharto...

Saya tumbuh sebagai anak kecil sampai remaja di suatu desa di Ciawi, Kabupaten Bogor. Banjarwaru, nama desa itu. Konon nama desa ini diambil dari nama seorang leluhur orang pertama yang berdiam di situ, berasal dari Banjar.

Entah berasal dari Kabupaten Banjar, atau dari Suku Banjar di Kalimantan, atau dari Banjar lain. Kami menyebutnya Mbah Banjar. Nama desa tetangga juga berawalan Banjar, Banjarsari dan Banjarwangi.

Wilayah desa saya ini, dibelah suatu jalan kampung berusia ratusan tahun, yang menghubungkan berbagai desa lain di kaki Gunung Gede dan Pangrango, ke kota kecamatan Ciawi. Jalan ini kemudian beraspal bagus, sejak Presiden Soeharto membangun peternakan sapi yang terkenal sejagat -- saat itu -- Tri S, di Tapos, pada awal tahun 1970-an. 

Tapos adalah ujung dari jalan kampung. Lokasinya berada di suatu perbukitan, paling tinggi dibanding lokasi lain di sekitarnya. Tak salah jika disebut sebagai anak atau cucu Pangrango dan Gede. Berudara sejuk, dan pemandangannya luar biasa. Deretan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta, samar-samar dapat terlihat dari sini.  

Pak Harto rajin berkunjung ke Tapos. Konon kabarnya, memang hobi pak Harto beternak dan bertani. Namanya juga hobi, pasti akan dilakukan di sela-sela kesibukan. Bahkan, kalau sudah sangat hobi, justru kesibukan kerja yang dilakukan di sela-selanya.

Pak Harto juga senang mengajak tamu-tamu kenegaraan bertandang ke peternakan itu. Saya baru tahu kemudian -- setelah dewasa -- bahwa  peternakan sapi itu menghasilkan sapi-sapi bibit unggul hasil persilangan dari sapi jenis Brangus, berasal dari Australia. Bibit sapi unggul itu kemudian disebar ke berbagai daerah untuk diternakkan.

Berkah dari Peternakan Tapos
Karena sering berkunjung ke Tapos inilah, desa tempat tinggal saya ketiban banyak untung. Mungkin juga wilayah lain di seluruh Ciawi.

Persis di seberang gang rumah, berdiri Balai Penelitian Ternak (Balitnak), gabunngan dari dua lembaga penelitian peternakan. Kami lebih suka menyebutnya BPT. Luasnya sekitar 23 hektare.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun