Mohon tunggu...
Penny Lumbanraja
Penny Lumbanraja Mohon Tunggu... Lainnya - A girl who love vegetables and fruits. Bataknese.

Warga biasa yang belajar menulis...

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Laut Indonesia Darurat Sampah, Kita Harus Bagaimana?

29 Juli 2019   13:40 Diperbarui: 29 Juli 2019   13:50 1075
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Baru-baru ini kita dikejutkan oleh sebuah sampah plastik mie instant yang ditemukan di Pantai Sendang Biru di selatan Kabupaten Malang, Jawa Timur. Ironisnya, sampah tersebut telah berusia 19 tahun yang ditemukan oleh seorang mahasiswi, Fianisa Tiara Pradani saat ia sedang melakukan penelitian tentang Ilmu Kelautan di pantai tersebut. Foto sampah bertuliskan "Dirgahayu 55 Tahun Indonesiaku" tersebut diunggahnya melalui akun media sosial twitter-nya dan berhasil menyorot perhatian Menteri Perikanan dan Kelautan, Susi Pudjiastuti.

Bulan November 2018 lalu, Susi Pudjiastuti akan terus mendorong kegiatan pengurangan pemakaian plastik. Hal ini dilakukannya demi menyelamatkan laut Indonesia yang sudah dicemari sampah plastik berbahaya.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyebutkan, Indonesia merupakan penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia yang dibuang ke laut. Sampah plastik yang sangat berbahaya. BPS mencatat, kantong plastik yang terbuang ke lingkungan sebanyak 10 milyar lembar per tahun atau sebanyak 85.000 ton kantong plastik.

Beberapa bulan yang lalu, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh banyaknya populasi ikan yang mati di laut akibat air laut yang tercemar oleh sampah-sampah plastik. Budaya buruk masyarakat yang membuang sampah ke laut ini tidak hanya mengancam manusia melainkan hewan-hewan laut.

Sampah plastik tersebut bila tidak dikumpulkan dengan benar akan terbawa ke sungai bahkan sampai ke laut dan pada akhirnya menumpuk. Karena massanya yang ringan, sampah plastik akan berada di permukaan laut sehingga dapat menutupi permukaan laut. Sampah yang terbuang ke laut dapat menyebabkan kerusakan lingkungan ekosistem laut dan membahayakan populasi yang ada di laut.

Beberapa mahasiswa di universitas melakukan penelitian survei dan mengungkapkan bahwa sekitar 28 persen ikan yang dikonsumsi  di masyarakat sudah tercemar oleh sampah plastik. Ikan-ikan tersebut tidak sengaja memakan sampah plastik, karena mengganggap plastik tersebut merupakan makanan mereka. Hal ini tidak menutup kemungkinan dapat mengancam biota laut lainnya, sampah plastik juga dapat merusak terumbu karang yang sudah terancam punah.


Kelautan dan Perikanan dalam Angka, Kementerian Kelautan dan Perikanan di tahun 2016, luas terumbu karang total pada tahun 2016 sekitar 2,5 juta Ha. Sekitar 37 persen dengan kondisi cukup baik dan kurang baik sekitar 30 persen. Penutupan permukaan laut oleh sampah plastik dapat membahayakan biota laut, yaitu terumbu karang.  Terumbu karang akan kesulitan memperoleh cahaya matahari agar dapat bertahan hidup. Padahal terumbu karang merupakan ujung tombak perekonomian dan membawa manfaat yang sangat besar bagi jutaan penduduk yang hidup di dekat pesisir laut.

Baru-baru ini Indonesia digegerkan oleh seekor paus sperma yang mati dan membusuk di Laut Wakatobi, Sulawesi Tenggara pada November lalu. Sekitar 5,9 kg sampah plastik ditemukan di dalam tubuh paus tersebut. Lokasi kematian mamalia laut yang berukuran 9,5 meter tersebut berada di kawasan konservasi Taman Nasional Perairan (TNP) Wakatobi yang seharusnya menjadi wilayah aman bagi biota laut.

Riset Greeneration, organisasi nonpemerintah yang telah 10 tahun mengikuti isu sampah memaparkan bahwa satu orang di Indonesia rata-rata menghasilkan 700 kantong plastik per tahun. Berarti permasalahannya kita memproduksi minimal satu kantong plastik setiap harinya. Padahal di alam, kantong plastik sangat sulit terurai bahkan ada plastik yang tak terurai dan itu menjadi ancaman kehidupan, kesehatan dan ekosistem.

Ia juga menambahkan, berdasarkan data yang diperoleh dari Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS), sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton/ tahun dimana sebanyak 3,2 juta ton merupakan sampah plastik yang dibuang ke laut. "Sampah plastik yang masuk ke laut dapat terbelah menjadi partikel-partikel kecil yang disebut microplastics dengan ukuran 0,3 -- 5 milimeter. Microplastics ini sangat mudah dikonsumsi oleh hewan-hewan laut," lanjut Susi.

Mengapa bisa terbuang ke laut? Produksi sampah plastik di Indonesia dinilai sangat banyak. Direktur Sustainable Waste Indonesia (SWI), Dini Trisyanti dalam riset terbarunya yang menganalisis soal Analisis Arus Limbah Indonesia pada 2017 lalu, ada sekitar 1,3 juta ton sampah plastik yang tidak dikelola.

Selain itu, sampah plastik tidak mudah terurai.  Sampah plastik baru dapat terurai puluhan hingga ratusan juta tahun, bahkan ada beberapa plastik yang tidak akan pernah terurai. Jika tidak dikelola di TPA atau didaur ulang, tentu akan merusak ekosistem. Sampah plastik yang tidak dikelola ini biasanya tertimbun di tanah, atau ikut mengalir ke lautan.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan tingginya sampah plastik yang tidak dikelola. Pertama, terkait sistem yang tidak memadai untuk proses pengumpulan sampah. Proses ini hanya dilakukan para pemulung di jalanan, atau petugas kebersihan yang mengangkat sampah-sampah dari tiap rumah tangga dengan menggunakan truk. Pengumpulan sampah dengan cara ini belum bisa menjangkau semua sampah. Ada 400 kabupaten di Indonesia yang tidak semuanya dilengkapi dengan truk sampah.

Kedua, budaya masyarakat yang memprihatinkan, membuang sampah sembarangan secara langsung ke laut atau sungai. Kebiasaan masyarakat Indonesia itu sendirilah yang semakin memperparah alam. Sampah tak terurai ini tidak masuk ke dalam proses pengumpulan yang dilakukan para pemulung maupun petugas kebersihan, dan akhirnya mengotori ekosistem alam.

Ketiga, keterbatasan anggaran pemerintah. Di sisi lain, masyarakat tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Indonesia mempunyai banyak hambatan untuk infrastruktur pelayanan sampah. Masyarakat seringkali membuang sampah sembarangan karena tidak adanya tempat pengumpulan sampah atau TPA khusus di sekitar tempat tinggalnya. Inilah yang menimbulkan perilaku masyarakat yang bingung untuk membuang sampahnya.

Selain itu, kurangnya perhatian pemerintah dalam upaya peningkatan pelayanan sampah di beberapa kabupaten yang tidak di fasilitasi infrastruktur pelayanan sampah.

Solusi

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk Indonesia, berdasarkan proyeksi penduduk, akan meningkat menjadi 271,07 juta jiwa pada 2020 dari 238,52 juta jiwa pada 2010. Peningkatan yang signifikan ini sebesar 14 persen. Peningkatan jumlah penduduk ini tentu akan berpengaruh pada lingkungan, salah satunya penyebabnya adalah sampah.

Semakin bertambah jumlah penduduk, maka semakin banyak pula sampah yang dihasilkan. Semakin banyak sampah yang dihasilkan, berarti semakin banyak pula anggaran pemerintah yang dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan sampah masyarakatnya. Lalu apa tindakannya?

Pertama, sampah dapat dicampurkan dengan aspal untuk pembangunan infrastruktur jalan. Rasionya adalah 1:9. Aspal campuran yang dimaksud terdiri dari 10 persen sampah plastik dan 90 persen aspal murni. Biaya produksinya menjadi lebih hemat hingga 8 persen dengan tanpa mengurangi kualitas aspal itu sendiri. Cara ini telah diadaptasi dari India dan telah diujicobakan di Bali.

Kedua, pemerintah mulai melakukan Pencanangan Pembangunan Fasilitas Pengolahan Sampah di Dalam Kota yaitu ITF (Intermediate Treatment Facility). Dikutip dari sebuah opini dalam harian Analisa. Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) telah mensahkan Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Hal ini tertulis pada Perpres 35/2018.

Proses percepatan pembangunan instalasi pengolah sampah (PLTSa) tersebut harus ditidak secara serius oleh seluruh pemerintah daerah. Terkhusus bagi daerah-daerah penghasil sampah terbesar di Indonesia. Cara ini sudah diadaptasi oleh negara Amerika Serikat dan Denmark. Penggalakan sistem ini berhasil memanfaatkan lebih dari 80 persen volume sampah untuk menghasilkan suatu energi.

Pemanfaatan sampah juga sangat bermanfaat untuk keberlangsungan listrik. Jika dilakukan kajian yang lebih mendalam, teknologi ITF dapat ramah lingkungan dan mampu meminimalisir sampah-sampah secara efektif. Diprediksi, ITF dapat menciptakan efisiensi 2200 ton sampah menghasilkan 35 MW energi listrik. Selain itu, ada pula cara pengolahan sampah menjadi uap panas, disebut thermal technology dan sudah  diterapkan di beberapa negara.

Secara umum, Indonesia menghasilkan sampah sebanyak 175.000 ton per hari, dengan masing-masing orang menyumbangkan 0,7 kilogram sampah. Diperkirakan total sampah Indonesia di tahun 2019 akan meningkat lagi hingga mencapai 68 juta ton.

Seiring akan bertambahnya jumlah penduduk terutama di masa emas demografi, peningkatan sampah ini akan terus terjadi. Namun, asalkan seluruh masyarakat sadar dan mau bersinergis dengan baik untuk menanamkan budaya peduli pengurangan sampah, aksi nyata ini pasti akan berbuah manis. Jangan biarkan kepedulian itu terbuang begitu saja tanpa aksi yang nyata, sama seperti sampah yang terbuang secara sembarangan. Mari kita selamatkan bumi kita bersama.

Penny Charity Lumbanraja
(*) Penulis alumnus magister Universitas Sumatera Utara dan bergiat di Perkamen (Perhimpunan Suka Menulis)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun