Mohon tunggu...
Peni Kharisma
Peni Kharisma Mohon Tunggu... -

Rajin membaca (media sosial) dan berlatih menerjemahkan artikel atau fiksi, sesekali, itu pun kalau sedang rajin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Para Perempuan Bermata Hitam

28 Mei 2018   06:28 Diperbarui: 28 Mei 2018   08:59 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: www.kompasiana.com

"Aku tak bisa."

Aku belum lupa kapal biru tanpa nama itu dan ia belum melupakanku, mata merahnya yang dicat di sisi haluan tak pernah berhenti menatapku. Setelah empat hari yang tak menentu di laut tenang di bawah langit biru dan malam-malam yang cerah, daratan akhirnya tampak, sebaris titik di horizon. 

Saat itulah kapal lain tampak di kejauhan, mengarah ke kami. Kapal itu cepat sedang kapal kami pelan, terbebani lebih dari seratus orang di kapal nelayan yang kapasitas normalnya hanya seorang nelayan dan ikan makarel beku tangkapannya. 

Kakakku menarikku ke ruang mesin yang sesak dengan mesinnya yang berdecit dan menggunakan pisau sakunya untuk memangkas rambut panjangku menjadi pendek, potongan bergerigi yang sampai kini masih jadi model rambutku. "Diam," ia bilang. Ia lima belas tahun dan aku tiga belas. Kau masih terdengar seperti anak perempuan. Sekarang lepas kemejamu."

Aku selalu menuruti perkataannya, meski kali ini dengan malu-malu, meskipun dia hampir tak memperhatikanku ketika ia merobek kemejaku. Ia mengikat dadaku dengan kain, kemudian melepas kemejanya sendiri dan mengenakannya padaku, sehingga ia hanya mengenakan kaos compang-campingnya. Kemudian ia mengoleskan oli ke mukaku dan kami meringkuk di kegelapan sampai para perompak itu menuju ke arah kami.

Para perompak itu menyerupai ayah dan kakak kami, keras dan berkulit coklat, tapi membawa golok dan senapan mesin. Kami menyerahkan perhiasan emas, jam, anting-anting, cincin kawin, dan batu giok. 

Mereka merebut perempuan-perempuan muda, menembaki seorang ayah dan seorang suami yang melawan. Semua orang terdiam kecuali mereka yang diseret pergi, menjerit dan menangis. Aku tidak mengenali mereka, perempuan-perempuan dari desa lain, dan hal itu membuatku berdoa supaya tak bernasib seperti mereka, sembari menggenggam lengan kakakku,. Baru setelah perempuan terakhir dilempar ke haluan kapal perompak itu, diikuti para perompak, aku bisa bernapas lagi.

Perompak yang terakhir melirikku sekilas sebelum pergi. Ia seusia ayahku, hidungnya terbakar matahari, baunya campuran keringat dan jeroan ikan. Lelaki kecil ini, yang bisa sedikit berbicara dalam bahasa kami, mendekat dan mengangkat daguku. "Kau anak yang tampan," ia berkata. Setelah kakakku menusuknya dengan pisau saku, kami bertiga diam terpaku, menatap pisau yang berdarah, keheningan pecah ketika lelaki itu melolong kesakitan, menurunkan senapan mesinnya dan menghantamkannya dengan keras ke kepala kakakku. Suara benturannya masih bisa kuingat. Ia jatuh seperti orang mati, darah mengalir dari alisnya, dagu dan pelipisnya membentur lantai kayu dengan suara gedebuk yang mengerikan, yang sampai kini masih bergaung di ingatanku.

Aku menyentuh bekas luka kakakku, "Sakit?"

"Sudah tidak. Kau?"

Sekali lagi aku berpura-pura memikirkan jawaban yang sudah kutahu. "Masih," akhirnya aku berkata. Waktu lelaki itu melemparku ke haluan, benturannya melukai belakang kepalaku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun