Mohon tunggu...
Peni Kharisma
Peni Kharisma Mohon Tunggu... -

Rajin membaca (media sosial) dan berlatih menerjemahkan artikel atau fiksi, sesekali, itu pun kalau sedang rajin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Para Perempuan Bermata Hitam

28 Mei 2018   06:28 Diperbarui: 28 Mei 2018   08:59 573
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: www.kompasiana.com

"Kakak memang perenang hebat." Kataku bercanda. "Seperti apa dia kelihatannya?"

"Persis sama."

"Sudah 25 tahun. Ia tak berubah sama sekali?"

"Hantu-hantu selalu tampak sama dengan saat terakhir kau melihat mereka."

Aku ingat rupa kakakku di saat-saat terakhirnya, dan humor yang hilang bersamanya. Ekspresi terpana pada wajahnya, mata yang terbuka dan tak tergeming bahkan ketika pecahan papan geladak kapal itu menampar pipinya---kalaupun ada penampakan orang atau apapun itu, aku tak ingin melihatnya lagi. 

Setelah ibu pergi bekerja ke salon, aku mencoba tidur kembali tapi tak bisa. Mata kakakku terbayang menatapku setiap aku menutup mata. Barulah sekarang aku sadar, aku sudah tidak mengingatnya beberapa bulan belakangan ini. 

Aku lama berusaha melupakannya, tapi hanya dengan berbelok ke suatu tempat atau ke sudut ingatan, aku mengingatnya lagi, teman terbaikku. 

Di dalam ingatanku, aku bisa mendengar suaranya di luar rumah, memanggil-manggil. Itu adalah sinyal bagiku untuk mengikutinya menyusuri setapak dan jalanan desa kami, melalui belukar nangka dan mangga ke pematang dan lapangan, menghindari serpihan pohon kelapa dan lubang bekas bom. Pada masanya, itu adalah masa kecil yang normal.

Namun jika dilihat lagi, aku menyadari bahwa kami melalui masa muda di negara berhantu. Ayah kami terkena wajib militer, dan kami takut ia tak akan pernah kembali. Sebelum ia pergi, ia telah menggali bunker di sebelah rumah, bunker karung pasir beratap kayu. Meskipun bunker itu panas tanpa udara, lembab dengan bau tanah dan hidup dengan geliat cacing-cacing, kami sering bermain di situ waktu kecil. 

Beranjak remaja, kami ke sekolah dan saling bercerita. Aku adalah murid terbaik di sekolah, cukup baik sehingga guruku mengajari Bahasa Inggris di luar jam pelajaran, ilmu yang kubagi dengan kakakku. Ia, sebagai gantinya, memberitahuku semua cerita, dongeng, dan rumor. 

Saat pesawat berderu di atas dan kami berimpitan dengan ibu di dalam bunker, ia membisikkan cerita hantu untuk mengalihkan pikiranku. Hanya, ia berkeras, itu bukan cerita hantu. Namun kejadian nyata dari orang-orang terpercaya, wanita-wanita tua pengunyah pinang yang meludahkan sari merahnya sambil berjongkong di pasar, menunggui anglo atau keranjang jualan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun